Cari Blog Ini

Selasa, 27 Februari 2018

[The Remedies] Apel


APEL

Sekelompok anak muda tampak berlarian sambil tertawa-tawa dalam sebuah gang sempit. Mereka pun berhenti masih tetap tertawa-tawa meski nafasnya tersengal-sengal.

“Kau lihat tadi? Polisi-polisi bodoh itu? Mereka semuanya payah banget!” Ucap salah seorang dari mereka yang tampak seperti perempuan tomboy dengan rambut pink.

“Hei! Hei! Jangan begitu dong, mereka sudah 'berusaha kerass' loooh...!”

Semuanya diam sesaat lalu meledaklah tawa mereka hingga keluar air mata, mereka tampak menikmati hal tersebut. Laki-laki urakan yang bicara tadi lalu menirukan orang yang sedang tertembak lalu ia pun menertawakannya diiringi tawa yang lainnya. Sebuah drum sampah dibakar isinya kemudian kelompok anak muda yang berjumlah lima orang itu mulai bersulang dengan minuman yang mereka bungkus dengan kertas coklat. Mereka duduk mengelilingi drum yang menyala itu sambil bercerita dan tertawa-tawa.

“Oke, semuanya dengar! “ Kata seorang dari mereka yang tampaknya ketua dari kelompok itu.

“Hari ini, kita sukses besar” Semuanya mengangguk setuju

“Sekarang berpencarlah kalian, jangan melakukan hal yang mencolok! Aku akan menghubungi kalian lagi kalau ada ‘pesta’ mengerti?” Ucapnya seperti perintah yang harus dipatuhi.

Laki-laki itu tidak tampak urakan seperti yang lainnya, masih sangat muda dengan wajahnya yang meyakinkan. Ia sangat tenang dengan senyumnya yang dingin. Tidak ada yang tahu apa yang ia rencanakan sebenarnya, tak ada yang tahu isi hatinya bahkan anak buahnya sendiri.

Semuanya tampak bersiap-siap, tiba-tiba sang ketua merasakan hal yang ganjil. Ia menoleh ke belakang dengan cepat, tak ada siapa pun lalu ia mendongak keatas, tampak seorang gadis muda berbaju hitam dan berambut panjang sedang mengamati mereka dari atas atap rendah. Bayangan malam hampir menyamarkannya, tapi karena nyala api dalam drum membuat wajahnya terlihat. Kelompok anak muda itu berdiri dan tampak waspada.

“Apa kamu polisi?” ucap sang ketua dingin masih menatap gadis misterius itu dengan tajam.

“Apa yang kau harapkan?” Gadis itu balik bertanya.

“Jangan main-main dengan kami!” Seru sang ketua.

“Kau akan menyesal menemukan kami, kami akan memburumu hingga kau akan menyesal kau pernah dilahirkan.” Ucapnya dingin tapi tak dapat menyembunyikan senyumannya yang penuh dengan hasrat membunuh.

“Kalian ini...” Kata gadis itu menghela nafas.

“Kalian pikir menyenangkan ya, mempermainkan nyawa manusia? Berpura-pura seperti bocah polos tapi menyakiti orang yang dengan tulus berusaha menolong kalian” Kata gadis itu lagi, wajahnya agak mengeras.

Semuanya terdiam tak mengerti, namun tiba-tiba sang ketua mulai tertawa.

“Oh, yang kau maksud dokter itu? Fuh! Hu hu hu aha ha ha!” Ia mulai tertawa mengerikan, anak buahnya melihatnya dengan takut.

“Itu salahnya sendiri! Semua kata-katanya penuh kebohongan yang memuakkan! Ia pantas mendapatkannya, oh, lihat saja! apa ia masih mau menolong orang dengan tangan yang tak bisa digunakan lagi?”

Sang ketua itu tertawa lagi. Gadis itu diam saja melihat laki-laki yang tertawa itu.

“Apel busuk.” Kata gadis itu pelan.

“Apa?” Wajah sang ketua berubah.

”Kau tahu apel busuk?” Kata gadis itu lagi.

“Di luar memang tampak merah ranum tapi di dalamnya sudah busuk, bau dan berulat. Buah seperti itu tak akan jadi pohon apel, kau tahu? Apel busuk hanya akan jadi sampah saja.”

Wajah-wajah anak muda itu mengeras, tampak marah juga takut.

“Yang kau maksud itu kami?” Kata sang ketua dingin.

“Oh, jadi kau menyadarinya? Aku tak bilang seperti itu lho!” Kata gadis itu kalem.

Sang ketua kini benar-benar marah.

“Aku akan benar-benar membunuhmu perempuan sok tahu!”

 Ia pun mengeluarkan senjata dan menodongkannya pada gadis itu, gadis itu diam saja.

”Apa kau takut? Takutlah! Sudah banyak polisi yang kami bunuh, mereka tidak apa-apanya bagi kami! Kami punya kekuatan sedang mereka tidak! Begitu juga denganmu kan? Kau tidak akan lolos dariku!”

Teriak ketua itu, ia tampak murka. Semua anak buahnya berlari ketakutan, mereka tidak pernah melihat ketua mereka yang seperti ini, tapi mereka tahu apa yang terjadi jika ketua mereka sudah lepas kendali. Dor! Dor! Ketua itu melepaskan dua tembakan, keduanya menggores pipi dan lengan gadis itu, tapi gadis itu diam saja tidak kaget maupun meringis. Ketua itu sesaat terkejut tapi ia pun tersenyum

“Itu hanya peringatan, kali ini tak akan meleset, ada permintaan terakhir?” Gadis itu tetap terdiam.

“Kalau hanya sampai disini...” Senyumnya pasrah.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki jangkung berkacamata dari kegelapan, sang ketua juga terkejut dan mengalihkan senjatanya pada laki-laki itu.

”Siapa kau!!” Teriak sang ketua, tapi ia tak di gubris sama sekali.

“Amarilis? Kenapa?” Tanya gadis itu kaget.

Laki-laki yang bernama Amarilis itu menyentuh pipi gadis itu beberapa detik kemudian pipi gadis itu telah sembuh seolah tak pernah tergores sama sekali ia pun mengobati lengan gadis itu dengan cara yang sama. Setelah selesai ia tampak puas dan membetulkan kaca matanya.

“Liliana kenapa kau menghampiri bahaya?” tanya Amarilis cemas, Liliana hanya diam.

“Hei! Jangan mengacuhkan aku, brengsek!!”

Teriak sang ketua yang sedari tadi hanya menonton adegan tidak masuk akal itu. Amarilis menoleh ke arah sang ketua dengan tatapan dingin, rambut yang jatuh ke wajahnya membuatnya tampak makin dingin.

“Oh apel busuk ya? Pantas, Liliana, jangan membuang tenagamu untuk apel busuk macam dia.” Kata Amarilis datar.

“Kurang ajar! Jangan sebut aku apel busuk, Sialan!”

Dor! Sang ketua melepaskan tembakannya namun amarilis mengelaknya dengan mudah, sang ketua tak percaya melihatnya, tembakannya tadi selalu 100% tepat mengenai sasaran.

“Mustahil!” teriak sang ketua sambil membelalakkan matanya.

“Siapa kalian sebenarnya?!” Amarilis dan Liliana hanya diam.

“Ada apa ini? kenapa kalian berkumpul disini? Kupikir telah terjadi sesuatu.“

Tiba-tiba muncul lagi seseorang yang misterius dalam kegelapan, berbeda dengan sebelumnya kali ini yang muncul laki-laki yang lebih muda dari Liliana.

“Aku tak apa-apa Eugene, kamu tadi merespon hatiku, aku tadi tak sengaja.“ Kata Amarilis lembut.

“Oh, syukurlah! Hei, kalian kembalilah, ada yang lebih penting yang harus kita lakukan.” kata Eugene tampak serius.

Liliana dan Amarilis mengangguk dan menghilang dalam kegelapan. Sebelum menyusul mereka Eugene berbalik dan menatap sang ketua yang masih shock.

“Kupikir kamu sudah di beritahu tentang apel busuk kan? Masih ada kelanjutannya lho, begini, ‘apel busuk biasanya cepat hancur‘ kau tahu apa maksudnya? Untuk kamu, sebaiknya instropeksi diri atau lebih tepat periksa ke dokter? “ Ucap Eugene dalam pose berpikir, tapi ia kemudian tersenyum geli.

“Aku tidak peduli apa maksudmu, kalau kau berusaha menakutiku itu tak akan berhasil!” Ucap sang ketua ketus.

“Oh baiklah, ya sudah.” Ucap Eugene bosan.

Ia mulai berjalan menuju ke kegelapan, namun ia berhenti dan berucap

“Tanganmu sering gemetar? Apa kau bisa mendengar jantungmu berdetak cepat? Hitung mundur telah dimulai teman, selamat tinggal.” Eugene pun menghilang dalam kegelapan.

Sang ketua bersandar di tembok sambil mencengkram dadanya. Keringat dingin mengalir dari dahinya.

”Bohong! semuanya bohong!” ucapnya ketakutan.

 Tiba-tiba ia mendengar suara yang paling tidak ingin ia dengar. Ia bisa mendengar suara detak jantungnya dengan keras dan jelas, tangannya pun gemetar hebat, melihat itu semua sang ketua hanya bisa berteriak, namun suaranya hanya tertelan kegelapan malam.

***

Para sukarelawan dari Palang Merah internasional sedang sibuk membantu orang-orang yang terluka. Kemarin telah terjadi gempa, banyak kerusakan terjadi dimana-mana. Semua orang tampak sibuk dengan tenda darurat dimana-mana tempat korban gempa dirawat. Pagi itu, salah seorang sukarelawan sedang berjalan membawa bungkusan obat, tiba-tiba dibelakangnya seseorang memanggil,

“Dokter Clarissa!“

Seorang gadis muda melambaikan tangannya pada dokter itu, ia pun balas melambai. Kemudian mereka berdua duduk disebuah reruntuhan beton, orang-orang masih hilir mudik di depan mereka.

“ Bagaimana tangan dokter?” Tanya gadis itu cemas,

“Oh nggak apa-apa kok, makasih sudah mengkhawatirkanku Liliana.” Gadis itu ternyata Liliana dan dia tersenyum lega.

Teringat kembali kejadian yang telah berlalu, di suatu malam dokter Clarissa tertelungkup tak berdaya dengan tangan kanannya putus di sebuah kamar di apartemen kumuh. Dalam keadaan meregang nyawa dokter perempuan itu mencoba bergerak dengan merangkak menuju pintu, darah mengalir deras dari tangannya, baju putihnya telah memerah karena darah. Tiba-tiba pintu di terbuka paksa dan menutup lagi, masuklah seorang gadis, Liliana datang tergopoh-gopoh dan dengan segera mendudukkan dokter itu ke pangkuannya.

“Jangan khawatir! Bertahanlah! Aku bisa menyambung tanganmu kembali!”

Dengan panik ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari potongan lengan, ketika ketemu ia segera meraih potongan lengan tersebut tapi tangannya di cegah oleh tangan yang berlumuran darah,

“Jangan! tak usah, Biarkan saja. Tangan ini akan menjadi peringatan bagiku agar tidak terlalu sombong lagi.” Kata dokter itu berusaha tersenyum dengan nafasnya yang tinggal satu-satu.

“Tapi!...” Seru Liliana cemas.

“Aku mohon! Hentikan saja pendarahan tangan ini. Demi anak itu, dia benar, semua kata-katanya benar... aku akan berubah... terima kasih kamu... maaf, aku sudah menolak... kebaikanmu...”

Suaranya kemudian tak terdengar lagi, tapi masih hidup. Liliana menatapnya cemas namun ia segera menyembuhkan dokter itu. Luka di tangan dokter itu pun menutup.

“Kenapa dokter? Aku selalu melihatmu, kau selalu baik melebihi orang baik di dunia ini, kenapa jadi begini?” Ucap Liliana sedih.

***

“Dokter...um...apa dokter sama sekali tidak dendam dengan anak yang telah memotong tangan dokter?” Tanya Liliana takut-takut,

Dokter Clarissa tertegun sebentar kemudian tersenyum

“Dendam ya... nggak kok, kalau marah sih iya, kalau sama aku saja dia sudah kejam begini bagaimana dengan orang lain?” ucapnya cemas, Liliana hanya diam saja.

“Tapi, kalau ada kesempatan aku ingin bertemu dengannya sekali lagi...” Ucapnya sambil tersenyum pahit.

“Untuk apa dok? padahal anak itu sudah menolak mentah-mentah pertolongan dokter bahkan memotong tangan dokter seakan-akan dokter bukan manusia?” Seru Liliana emosi,

“Liliana cukup!” Seru dokter Clarissa, tangan kirinya mencengkram lengan kanannya yang sudah tidak ada.

“Maaf, dokter aku...” Ucap Liliana menyesal. 

“Tak apa-apa kok, aku mengerti. Kamu ini aneh ya, muncul entah dari mana tiba-tiba menolongku bahkan bisa membaca pikiranku segala, aku bahkan tak tahu bagaimana bisa membalas kebaikanmu tapi kamu masih saja mengkhawatirkanku.” Ucap dokter Clarissa sambil tertawa kecil, Liliana tampak malu.

“Kamu adalah malaikat penolongku, tenang saja aku tak akan beritahu siapa-siapa tentang kamu.”

Liliana tersenyum hangat.

“Nggak kok, justru dokter sendiri seperti malaikat... nggak, lebih tepatnya seperti apel yang manis.” ucap Liliana riang.

“Wah! baru kali ini aku dibilang seperti apel tapi, bagus juga ya.” Ucap dokter Clarissa, wajahnya bersemu merah.

Keduanya lalu tertawa tanpa beban. Liliana kemudian berdiri sambil menepuk-nepuk roknya dari debu.

“Liliana, apa kita bisa bertemu lagi?” Tanya dokter Clarissa pelan, Liliana diam sesaat.

“Masih bisa kok, kalau dokter mengharapkannya. Hatiku dapat mendengar suara dokter begitu juga dengan hati dokter. Kita semua ini berhubungan bukan?” ucap Liliana sambil tersenyum.

Dokter Clarissa mengcengkram dadanya.

“Hati ya...” Dokter itu berpikir sesaat, “Kau benar... kau benar! anak itu... anak itu, sebenarnya anak itu membutuhkan pertolongan dan aku, hatiku mendengarnya, dia salah! aku mengerti sekarang!”

Dokter itu tertawa tapi di sudut matanya cahaya bening mengalir, wajahnya tampak sangat bahagia. Liliana memeluk erat dokter Clarissa kemudian ia pergi menjauh. Dokter Clarissa terus menatap kepergian Liliana sampai ada gerombolan orang lewat di depan dokter itu, begitu rombongan itu berlalu sosok Liliana telah lenyap di depan sana. Dokter Clarissa hanya tersenyum kemudian ia pun pergi melanjutkan pekerjaannya.

Siapa sebenarnya mereka itu? Datang dan pergi seperti angin. Tapi yang pasti mereka ada dan disekitar orang-orang yang membutuhkannya. Tapi, cerita mereka belum berakhir sampai disini. Atau bahkan tak akan pernah berakhir. Selama bumi masih berputar, selama masih ada kebaikan dalam hati manusia, mereka akan selalu ada.

TAMAT

Gambar dan Cerita : Nemuchan Feb 2018.
Pertama kali di publikasikan : Maret 2008.
Judul asli : Remedies Monogatari.

Save And Share :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

back to top