Cari Blog Ini

Kamis, 11 November 2010

[Fanfic-Hetalia] Nice to Meet You (CH 02)


Disclaimer : The Characters (Arthur Kirkland/England/Britain, Alfred F. Jones/America/United States, Lili Zwingli/Liechtenstein) are original Character From Hetalia: Axis Powers by Himaruya Hidekaz.
Rating: K+
Warning: AU, Pakai Human names, mention of blood, blood (cuma sedikit) dll

Summary: Arthur yang selama ini menghindari berhubungan dengan orang lain harus berurusan dengan bocah yang dia temui 10 tahun yang lalu. (aku ngga bisa bikin summary T_T baca aja deh /plak)

Chapter 02~ yahoo! Lebih cepat dari yang kuduga XD Sebenarnya aku ragu soal rating….karena ada *baca warning* Mudah2an ngga salah orz

Nice to Meet You

Chapter 02

“Anak itu….kenapa dia masih di situ sih…?”

Arthur mengintip dari kejauhan seorang anak yang sedang berdiri di tepi jalan sambil membawa pot bunga mawar.

“Jangan-jangan dia nunggu aku? Haaah….anak itu bodoh banget sih. Nanti dia juga bosan sendiri.” Kata Arthur sambil berbalik pergi, “kalau kayak gini, terpaksa aku lewat jalan lain.”

Walaupun di mulut bilangnya tidak peduli, tapi pria bermata hijau itu selalu melihat anak bermata biru masih berdiri di tempat yang sama setiap malam. Walaupun sudah sebulan berlalu, tapi anak itu masih tetap menunggu.

“Kenapa…? Kenapa dia masih menunggu?”

Tiba-tiba Arthur mendengar anak itu berteriak ke jalanan kosong yang tidak ada siapa-siapa.

“Kak! Kalau kakak mau pulang ke planet asalmu, pamitan dulu, dong! Aku nggak mau lupa, lho! Akan kucari sampai ketemu! Karena itu, muncul dong, kak!!!!”

“Haha. Dia masih menganggap aku alien….benar-benar…bodoh…” Kata Arthur sambil tertawa, tapi tawanya itu sama sekali bukan tawa senang.

Arthur melangkahkan kakinya untuk mendekati anak itu, dia ingin bilang ke anak itu tidak usah menunggunya lagi. Tapi, Arthur berhenti.

“Tidak bisa…aku nggak boleh mendekati anak itu…bagaimana kalau aku lepas kendali..dan…”

Arthur melangkah mundur dan akhirnya berbalik pergi sebelum anak itu menyadari kehadirannya.

Setiap malam, Arthur terus mengintip anak itu dari kejauhan. Anak itu pun terus menunggu. Dan tanpa terasa sudah 10 tahun berlalu dan anak itu pun sudah tumbuh menjadi seorang remaja.

“Kenapa….padahal dia tinggal lupakan saja…tapi…kenapa …”

Terima kasih banyak--

--aku mau kita berteman!

Menunggu 10 tahun hanya untuk mengatakan itu padaku….entah kata apa yang melebihi kata ‘bodoh’

“Dan sekarang anak itu ada di rumahku dan dia sedang tidur dengan nyenyak.” Kata Arthur dalam hati sambil melihat Alfred yang sedang tidur.

“Hei! Alfred, bangun! Sudah pagi! Mau sampai kapan kamu tidur di sini!?”

Arthur mengguncang-guncang Alfred dengan keras dan entah kenapa dia terlihat kesal. Namun Alfred tetap tidak bangun bahkan dia mulai menginggau tidak jelas.

“Ya ampun…benar-benar deh…anak ini benar-benar santai…padahal dia tidur di rumah orang yang tidak dikenalnya…rumah seorang vampir…”

Tiba-tiba Alfred membuka matanya dan bangkit dari kasur. Spontan, Arthur pun kaget melihatnya. Pemuda bernata biru itu menatap Arthur dengan mata menerawang dan secara tiba-tiba (lagi) Alfred memegang tangan Arthur.

“Hah? Heh? Oi Alfred, kamu mau ngapain???” Tanya Arthur setengah panik.

Alfred masih menatap Arthur walaupun tidak fokus namun kemudian dia mulai tersenyum senang.

“Ternyata bukan mimpi. Hehehehe.”

“Haah?”

“Ternyata aku memang sudah bertemu denganmu. Dan itu bukan mimpi.”

“Kamu….kamu masih setengah tidur ya, bodoh! Cepat bangun!” Kata Arthur sambil menjetikkan jarinya ke dahi Alfred.

“Sakit!” kata Alfred sambil memegang dahinya, “Kenapa sih? Aku kan masih ngantuk…”

“Jangan tidur lagi! Dan cepat pergi dari sini!”

“Eeeh!!? Kok aku diusir??”

“Ini sudah pagi! Pulang ke rumahmu sana!”

“Eh? Sudah pagi, ya? Kok masih gelap…” Tanya Alfred bingung sambil melihat sekeliling kamar yang hanya diterangi cahaya lilin.

“Aku memang tidak pernah buka gordennya. Bisa gawat kalau cahaya mataharinya masuk.”

“Oooh…”

“Kenapa? Kok kamu menatapku begitu? Lupa kalau aku ini---”

“Kamu itu Vampir yang mudah marah dan juga pemalu. Alismu juga sangat tebal.” Kata Alfred sambil tertawa.

“Siapa yang pemalu, hah!!! Dan nggak usah bahas soal alisku!”

“Hei, Arthur. Aku lapar!”

“Ka-mu-i-tu-ya…..rasanya aku ingin memukulmu sekarang juga dan melemparmu keluar!”

“Haha. Jangan meributkan hal kecil. Aku duluan ya!”

Alfred turun dari kasur dan berlari keluar kamar. Arthur masih terdiam heran melihat tingkah laku Alfred yang seenaknya. Dia pun hanya menghela nafas dan ikut keluar kamar.

“Apa benar dia sudah 16 tahun? Kok sikapnya kayak anak 5 tahun sih….” Keluh Arthur.

“Huwaaa!”

Di ruang makan, Alfred melihat meja dengan mata berbinar-binar walaupun yang di atas meja hanya beberapa kue dengan peralatan minum teh.

“Kenapa kamu sekagum itu melihat meja makan?” Tanya Arthur heran.

“Ternyata kamu bisa makan makanan normal!” Kata Alfred kagum.

“Tentu saja bisa, bodoh!”

“Hmm…ini kue apa?” Tanya Alfred sambil mengambil salah satu kue.

“Itu Scone.” Jawab Arthur sambil menuangkan teh ke cangkir.

Alfred memakan kue itu dengan semangat, tapi baru satu gigitan raut mukanya berubah.

“Nggak enak….ternyata ini bukan makanan normal…”

“A-Apa! Y-Ya kalau ngga enak jangan dimakan!”

Tapi Alfred tetap memakan Scone itu walaupun dengan wajah lesu.

“Kamu sudah menyiapkannya untukku. Jadinya harus aku makan, kan?” Kata Alfred sambil tersenyum.

“Si-Siapa yang melakukannya untukmu, hah! I-I-Ini aku siapkan untukku sendiri, tahu!”

Alfred hanya tersenyum melihat Arthur yang sedang kesal. Dia pun duduk dan menikmati Scone-nya dengan segelas teh.

Hei, Arthur. Hewan-hewan yang kehabisan darah di hutan itu….perbuatanmu, kan?” Tanya Alfred yang secara tiba-tiba merubah topik pembicaraan.

“Da-Darimana kamu tahu?” Tanya Arthur kaget.

“Ada beritanya. Katanya ada seseorang berkulit pucat dengan jubah hitam di sekitar hewan mati itu. Dan dari berita itulah aku mencarimu di hutan kemarin.”

“Ternyata ketahuan…padahal aku sudah berhati-hati…” Kata Arthur dengan wajah gelisah.

“Memangnya kenapa? Kok kamu jadi panik?”

“Memangnya kamu kira apa reaksi orang lain kalau tahu ada vampir di sekitar mereka? Tidak semua orang bodoh sepertimu, tahu!”

“Jadi karena tidak mau ketahuan orang…kamu bersembunyi?”

“Tidak juga…aku tidak mau bertemu orang lain…karena….aku tidak mau menghisap darah mereka…walaupun aku juga…tidak mau menghisap darah hewan-hewan itu…”

“Tapi kemarin, kamu tidak menghisap darah kelinci-kelinci itu…”

“Aku hanya menghisap darah hewan yang sudah tua dan hampir mati. Tapi tetap saja…”

“Heee. Kamu benar-benar baik.”

“Kamu ngomong apa sih, bodoh! Itu sama saja membunuh, tahu!”

Arthur menundukkan mukanya sambil pura-pura minum teh karena malu tapi wajahnya terlihat sedih dan kesal.

“Menurutku itu nggak salah kok. Kamu sudah susah payah menahan diri, kan? Juga…kamu tidak menemuiku lagi karena takut menghisap darahku, kan?” Kata Alfred sambil tersenyum.

Kenapa….anak ini tahu apa yang aku pikirkan? Lagipula anak ini…

“Sebenarnya…” Arthur meletakkan cangkir tehnya ke cawan teh yang ada di atas meja dan menatapa Alfred dengan serius, “….kamu mau apa dariku?”

“…..aku cuma mau berteman denganmu, kok.”

“Itu saja?”

“Itu saja.”

Lagi-lagi anak itu tersenyum senang melihatku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikirannya dan apa yang dia inginkan sebenarnya. Padahal aku menghinadari berhubungan dengan orang lain…karena tidak ingin kejadian-kejadian waktu itu…terulang lagi.

“Tenang saja, Arthur. Kalau kamu mencoba menghisap darahku nanti aku pukul kamu dengan keras! Hahaha”

“Dari kata-katamu kayaknya kamu sudah merencanakan itu semua. Sudahlah! Pulang sana! Kamu sudah kenyang, kan?”

“Hmmm….sudah sih…” Kata Alfred sambil mengelus-elus perutnya, “tapi kan aku nggak tahu jalan…”

Ya ampun! Benar-benar deh. Anak ini pura-pura bodoh atau memang beneran bodoh, sih!?

“Cih! Apa boleh buat! Aku akan mengantarmu keluar hutan.” Kata Arthur sambil bangkit dari kursinya.

“Eh? Tapi kamu ngga boleh kena sinar matahari, kan?”

“Sudah, kamu siap-siap saja. Tunggu aku di depan.”

Setelah mengatakan hal itu, Arthur pergi. Alfred hanya terdiam bingung, tapi kemudian dia mengikuti perintah Arthur. Setelah bersiap-siap, Alfred menuju halaman depan.

“Huwaa! Karena kemarin gelap aku nggak bisa lihat kalau di sini ada kebun bunga! Hebat!!”

Di halaman itu banyak bunga mawar dengan berbagai warna bermekaran. Alfred melihatnya dengan senyum kagum. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu terbuka.

“Kamu itu bisa nggak sih jangan gampang kagum dengan hal yang kecil.”

Arthur keluar dari rumah dengan pakaian serba hitam, memakai kacamata dan sarung tangan hitam, juga memakai payung berwarna hitam pula. Yang jelas pria bermata hijau itu memakai segala sesuatu yang berwarna hitam dari atas sampai bawah. Alfred hanya menatapnya dengan terheran-heran.

“Hitam…”

“Memangnya kenapa kalau hitam? Ayo jalan!” Kata Arthur sambil berjalan menuju pagar.

“Beneran nggak apa-apa?” Tanya Alfred khawatir.

“Selama aku ngga kena cahaya matahari, ngga masalah.”

Akhirnya mereka berdua pun berjalan menyusuri hutan dipimpin Arthur. Alfred melihat sekeliling hutan dengan heran karena suasananya berbeda dengan malam hari. Selain itu, dia juga terus menatap Arthur.

“Kenapa sih? Risih tahu kamu melihatku terus seperti itu!” Kata Arthur kesal sambil menoleh ke Alfred.

“Bukan. Menurutku kamu lebih cocok kalau pakai warna hijau. Sama seperti warna matamu. Hahaha”

“Jangan bercanda!”

“Kalau kamu bisa keluar di siang hari begini…kenapa kamu tidak keluar saja setiap siang?”

“Sudah kubilang, kan. Aku tidak mau berhubungan dengan orang lain.”

“Tapi setiap malam kamu ke suatu tempat, kan? Kamu menemui seseorang?”

“…..bukan urusanmu.”

“Tapi---“

“Sudah sampai.”

Mereka berdua sudah berdiri di tepi jalan. Alfred melihat sekeliling dan memang benar mereka sudah keluar hutan.

“Waaa. Ternyata cepat juga….”

“Dari sini pasti kamu tahu jalan pulang sendiri, kan? Sudah ya. Selamat tinggal.” Kata Arthur sambil berbalik pergi, tapi tiba-tiba Alfred berteriak menghentikannya

“Tunggu dulu!”

“Apa lagi?” Tanya Arthur kesal.

“Bukan ‘selamat tinggal’. Tapi ‘sampai jumpa’ karena kita akan bertemu lagi.”

Arthur menatap Alfred tanpa menjawab apa-apa. Kemudian berbalik lagi dan berjalan pergi.

“Terserah!”

“Sampai jumpa Arthur! Lain kali kasih aku Scone yang enak, ya!” Teriak Alfred dari kejauhan.

Anak itu…lagi-lagi seenaknya. Kalau sudah begini sih aku ngga bisa menghindari dia lagi. Aku sampai keluar di siang hari begini…benar-benar merepotkan.

--kenapa kamu tidak keluar saja setiap siang?

“Kalau aku bisa leluasa keluar setiap siang dan menemuinya….pasti sudah aku lakukan dari dulu, bodoh.”

Arthur berjalan pulang menuju rumahnya. Sinar matahari membuatnya lemas karena itu dia mau cepat-cepat pulang. Walaupun pria bermata hijau ini sudah menutupi tubuhnya tapi sengatan sinar matahari tetap terasa. Langkah kaki Arthur semakin lunglai.

Gawat…kenapa aku jadi cepat lemas…padahal biasanya…ngga begini…

Akhirnya Arthur sampai di depan rumahnya. Dengan tenaganya yang tersisa pria bermata hijau itu memasuki rumahnya. Arthur ingin cepat-cepat memasuki kamarnya. Namun belum sempat dia menuju kamarnya, kesadarannya sudah hilang dan dia tergeletak di ruang tengah.

“Haah…kamu ini benar-benar payah, ya.” Kata seorang gadis berkulit gelap dengan rambut berwarna hitam berkuncir dua

Siapa?

“Padahal tadi sudah aku kasih. Apa boleh buat…”

Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau dan mengiris tangannya sendiri sehingga mengeluarkan darah.

Tidak…

“Hmm? Tenang saja. Kalau ngga banyak-banyak aku ngga akan mati, kok.”

Jangan! Jangan lakukan itu!

“Jangan!”

Arthur terbangun mendadak sambil berteriak. Nafasnya tersenggal tidak beraturan. Arthur memegang kepalanya yng sakit dan mencoba mengingat apa yang terjadi.

“Oh iya…aku pingsan…Ugh! kepalaku…sakit…”

Arthur terus memegangi kepalanya. Kemudian dia mencoba berdiri walaupun harus susah payah. Pria bermata hijau itu mendekati jendela terdekat dan membuka gordennya. Ternyata hari sudah malam, bulan sabit dan cahaya-cahaya bintang terlihat jelas di langit yang gelap itu.

“Sudah malam….ya…gawat…aku harus cepat-cepat…”

Arthur terus memaksa tubuhnya untuk bergerak.nafasnya terus memburu. Pria berambut pirang itu berjalan menuju halaman rumahnya, lalu dia mengambil salah satu sebuah pot bunga mawar merah. Kemudian, Dengan lemas, Arthur berjalan menyusuri hutan hingga dia tiba di tepi jalan. Arthur terus berjalan dengan lemah.

Akhirnya, Arthur berhenti, Di kejauhan sana ada sebuah toko bunga kecil, Di toko itu ada seorang gadis berambut pirang pendek dengan pita yang terikat di rambutnya, sedang membawa satu-persatu pot bunga yang ada di luar untuk dimasukkan ke dalam. Arthur bersembunyi di pohon besar dekat dia berdiri dan mengintip toko bunga itu dari kejauhan. Arthur terus memperhatikan toko bunga itu, tapi perhatian Arthur tertuju pada gadis berpita itu.

“Sudah jam segini….dia masih bekerja…sendirian….”

Arthur terdiam sejenak, lalu dia mengambil batu kerikil yang ada di dekatnya kemudian dia berbalik dan melemparnya.

“Aduh!”

“Suara itu!? Alfred! Kamu ya?” Tanya Arthur kaget.

Alfred keluar sambil tetawa kecil dari semak-semak tidak jauh dari Arthur berdiri.

“Ahahahaha….Halo!”

“Ngapain kamu disini!!?”

“Nnngg..anu…aku….”

“Jawab dengan jujur! Kamu ngikutin aku, kan?” Tanya Arthur sambil menatap tajam Alfred,

“Errrr….iya…” Kata Alfred sambil menunduk menyesal, “tapi kok kamu tahu?”

“…..Aku mencium bau darah….aku ngga tahu itu kamu, tapi ada bau darah yang mengikuti dari tadi. Dan ternyata….itu kamu!”

“Hwa! Hebat! Padahal aku cuma terluka sedikit di lengan gara-gara sedikit tergores waktu di rumah. ” Kata Alfred sambil melihat tangannya yang terluka.

Dan gara-gara bau darah itu aku jadi tambah pusing! Aku harus tahan! Tahan!

“Arthur....kamu baik-baik saja, kan? Dari tadi sikapmu aneh…” Tanya Alfred dengan nada khawatir.

“Tentu saja aku baik-baik saja, bodoh! Aku nggak selemah yang kamu kira!”

Walaupun di mulut Arthur bicara begitu, kenyataannya rasa sakit di kepalanya semakin bertambah. Tapi pria bermata hijau itu berusaha bersikap biasa saja, dia tidak ingin membuat Alfred khawatir. Arthur menoleh ke belakang dan melihat kalau gadis berpita itu tidak ada lagi di depan toko bunga itu.

“Dia…sudah selesai, ya?”

Arthur melangkahkan kakinya menuju toko bunga itu. Alfred mengikutinya walaupun bingung.

“Arthur. Kamu marah, ya? Aku nggak bermaksud mengikutimu, kok. Aku cuma penasaran…”

Namun Arthur tidak menjawab apa-apa, dia tetap terus berjalan.

“Hei, Arthur—“

Arthur berhenti di depan pintu toko bunga itu. Dia menaruh pot bunga mawar merah itu di depannya.

Arthur terdiam sambil menatap mawar merah yang baru ditaruhnya. Alfred pun ikut terdiam karena bingung dengan sikap Arthur yang sedikit aneh.

“Setiap melihat mawar merah…pasti aku ingat bau darah….karena itu aku benci mawar merah…tapi yang ada di halaman rumahku kebanyakan tumbuh mawar merah….dan yang bisa kuberikan padanya….hanya mawar berwarna…darah…”

“Arthur!”

Setelah mengatakan itu, Arthur tidak sadarkan diri lagi. Alfred yang panik menangkap Arthur sebelum dia jatuh ke tanah.

“Arthur! Arthur! Sadarlah! Arthur!”

Alfred menepuk-nepuk pipi Arthur beberapa kali tapi Arthur masih belum sadar. Alfred menjadi semakin panik.

“Bagaimana ini!? Aku ngga mungkin bawa dia ke rumah sakit…”

“Anu. Ada apa, ya?”

Pintu toko bunga itu terbuka, lalu dari dalam keluar seorang gadis berambut pirang pendek dengan pita yang terikat di rambutnya. Gadis itu terlihat kebingungan melihat ada dua orang pemuda di depan tokonya.

“A-I-Itu!” Perasaan Alfred tercampur antara kaget, bingung, dan panik. Dia tidak bisa menemukan kata yang tepat, “Ini…bisa minta tolong! Dia pingsan!”

“Eh! Ka-kalau begitu, cepat bawa masuk!” Kata gadis itu ikut panik.

Alfred mengangkat Arthur yang pingsan dan membawanya masuk, setelah gadis itu membuka pintunya dengan lebar.

“Di kamar ini saja.” Kata gadis itu sambil mengarahkan mereka berdua ke sebuah kamar.

Alfred menidurkan Arthur di atas kasur. Melihat Arthur masih belum sadar pemuda bermata biru itu semakin khawatir.

“Anu…kenapa dia pingsan?” Tanya gadis itu.

“…..Entahlah….dari tadi dia sudah terlihat lemas…”

“Nngg…mungkin lebih baik kalau sarung tangan dan jubahnya di lepas…supaya dia tidak merasa sesak..”

“Eh? Ah. I-iya benar juga…”

Gadis itu melepaskan sarung tangan yang ada di tangan Arthur perlahan-lahan. Tapi betapa terkejutnya dia melihat tangan Arthur yang penuh bercak merah. Tidak hanya gadis itu, Alfred pun terlihat kaget.

“Ada apa ini…? Kalau dilihat baik-baik bagian leher juga ada bercak merah…mungkin seluruh tubuhnya juga ada bercak-bercak ini…”

“…..Dia…dia…a-a-alergi sinar matahari…”

“Oooh…mungkin tadi siang dia terkena sinar matahari dan menyebabkan hal ini…mungkin itu juga yang menyebabkan dia pingsan. Ah! Tunggu sebentar, saya akan ambilkan handuk dan air.”

Gadis itu bergegas keluar dari kamar. Alfred masih terdiam terpaku di samping kasur. Tubuhnya sedikit gemetar, dia menatap Arthur dengan ekpresi menyesal.

“Kamu bilang….tidak apa-apa….padahal kamu bilang…kamu baik-baik saja….tapi….tapi…kenapa…?”

Gadis berambut pirang pendek itu kembali memasuki kamar dengan membawa baskom kecil berisi air dingin dan handuk. Dia duduk di samping Arthur dan mengelap tangan dan wajah Arthur dengan handuk basah. Kemudian, perhatian gadis itu teralihkan ke Alfred yang terus berdiri dengan wajah menunduk.

“Anu…kenapa kamu tidak duduk saja? Saya rasa orang ini baik-baik saja.”

“Ini semua salahku.”

“Eh?”

“Ini salahku…dia jadi seperti ini…” Kata Alfred masih dengan wajah menunduk.

Gadis itu terdiam. Dia bingung mau mengatakan apa, tapi dia meletakan handuk ke dalam baskom dan menatap Alfred.

“Mmmm….maaf kalau saya ikut campur…tapi apa kalian bertengkar?” Tanya gadis itu.

“Tidak.”

“Apa dia menyalahkanmu tentang sesuatu?”

“…..Tidak.”

“Apa…dia mengatakan kamu melakukan kesalahan sebelum dia pingsan?”

“…Itu…tidak…tidak sama sekali….” Kata Alfred sambil mengangkat wajahnya perlahan.

“Kalau begitu. Menurut saya, ini bukan salahmu sama sekali. Kalau kamu menyalahkan dirimu terus nanti dia jadi khawatir, kan? Nanti dia jadi sedih melihat wajahmu yang menyesal waktu dia bangun nanti.”

Alfred terdiam. Matanya melebar seakan sadar akan sesuatu. Lalu dia berjalan mendekati kasur dan duduk di samping Arthur.

“Dia ini…terlalu baik. Walaupun sering marah-marah dan tidak mau jujur, kebaikan hatinya sampai membuatnya seperti ini. Tapi aku sangat senang, berteman dengannya.” Kata Alfred sambil tersenyum melihat Arthur.

“Kamu punya teman yang baik. Dia pasti juga senang punya teman sepertimu.” Kata gadis itu ikut tersenyum.

“Seandainya saja dia mau mengatakan itu waktu bangun nanti. Dia pemalu sih.” Kata Alfred sambil tertawa kecil, “Ah! Iya! Aku belum memperkenalkan diri! Namaku Alfred F. Jones, salam kenal! Dan dia namanya Arthur Kirkland.”

“Namaku Lili Zwingli. Salam kenal.” Kata Lili sambil tersenyum.

END CH02

TO BE CONTINUED

Story by Dark lily 09-11-2010


Nnnng….Ch02 ini lebih panjang dari yang kuduga…dan sebenarnya cerita selanjutnya masih lanjut di chapter ini tapi kuundur aja sampai ch03 /plaak kayaknya unsur USUK-nya kental banget ya….pasti gara2 habis dengerin Drama CD USUK terbaru jadinya terpengaruh…(padahal ngga ngerti apa2 krn masih bhs Jepang) tapi setelah CH03 USUK-nya berkurang (kayaknya) *dihajar penggemar USUK*

Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5 (End)
Chapter 1

Save And Share :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

back to top