Cari Blog Ini

Minggu, 21 November 2010

[Fanfic-Hetalia] Nice to Meet You (CH 03)


Disclaimer : The Characters (Arthur Kirkland/England/Britain, Alfred F. Jones/America/United States, Lili Zwingli/Liectenstein, Francis Bonnefoy/France) are original Character From Hetalia: Axis Powers by Himaruya Hidekaz.
Rating : K+
Warning: AU, Pakai Human names, dll

Summary: Cerita tentang Arthur yang menjadi Vampir…UPDATE chapter 03. (aku ngga bisa bikin summary T_T baca aja deh /plak)


Nice To Meet You

Chapter 03

“Hei, kenapa kamu berkebun malam-malam?” Tanya seorang gadis berkulit gelap dengan rambut hitam berkuncir dua.

Arthur melihat gadis yang tidak dikenalnya ada di halaman rumahnya dengan mulut menganga dan tatapan tidak percaya.

“Siapa kamu!? Kenapa kamu bisa ada di sini!? Kamu mau apa denganku!?” Tanya Arthur panik.

“Kamu nggak usah berlebihan begitu, kan?” Kata gadis itu dengan ekspresi kesal, “lagipula aku kan yang bertanya duluan! Seharusnya kamu jawab dong!”

“Ugh! Ka-Kamu yang seenaknya masuk rumah orang!”

“Rumahmu? Memangnya ini rumahmu? Rumah ini sudah lama kosong. Lalu tiba-tiba ada yang tinggal di sini…bukankah itu aneh?” Tanya gadis itu lagi sambil melirik Arthur dengan curiga.

Arthur hanya terdiam, dia melihat gadis yang terlihat sombong itu dengan heran. Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkam, gadis itu berjalan mendekati Arthur. Pria bermata hijau itu reflek berjalan mundur.

“Kenapa? Kok kamu jadi takut? Bukankah seharusnya aku yang takut?”

Gadis itu tertawa lepas seakan baru mendengar sesuatu yang lucu. Arthur semakin bingung melihat tingkah gadis itu.

“Apa mak—“

“Aku tahu, lho. Kamu itu vampir, kan?”

Mata Arthur melebar karena kaget. Gadis itu tersenyum puas melihat reaksi Arthur yang menandakan dugaannya tepat.

“Aku melihatnya.” Lanjut gadis itu, “aku melihat kamu menghisap darah seekor hewan di hutan kemarin malam.”

“….Aku tidak mengerti maksudmu…” Kata Arthur datar.

“Hmm….masih mengelak, ya. Bagaimana kalau aku tunjukkan ini.”

Gadis itu mengeluarkan dua lembar foto dari tas kecil yang dipakainya. Di salah satu foto itu terlihat seseorang berjubah hitam dan berambut pirang yang sedang berjongkok di depan seekor hewan yang tergeletak tidak berdaya. Di lembar foto yang lain, seseorang itu sedang menengok kearah kamera. Meskipun buram, tidak salah lagi bahwa orang yang ada di foto itu adalah dirinya.

“Apa kamu mau masih menyangkal, tuan vampir?” Tanya gadis itu sambil menyeringai.

“I-Ini bukan aku!”

“Siapa lagi orang yang berjubah hitam dengan rambut pirang di daerah sini?”

Arthur menelan ludahnya, alisnya yang tebal berkerut. Perasaannya campur aduk karena di depannya ada seorang gadis yang tidak dikenalnya bisa mengetahui rahasianya. Dan juga perasaan Arthur semakin tidak enak.

“Kamu tidak mau foto ini aku sebar, kan?”

“A-Apa maumu?”

“Wah wah. Kamu tidak suka basa-basi, ya? Kalau begitu aku langsung saja. Aku ingin kamu---“

****

Arthur membuka matanya secara tiba-tiba, tapi karena silau dia langsung menyipitkan matanya. Setelah matanya terbiasa dengan cahaya, Arthur melihat sekelilingnya dan ternyata dia sedang berbaring di kasur. Dia juga mengambil handuk kecil yang ada di dahinya. Perlahan-lahan pria bermata hijau itu bangun.

“Dalam sehari aku mimpi dia terus….o iya….aku pingsan lagi…ya?”

Arthur melihat ke kanan dan kiri lalu dia sadar ada sesuatu yang aneh.

“Kenapa kamarku jadi terang begini…lho? Kamarku kok jadi beda ya? Tunggu sebentar…ini bukan kamarku!”

Ketika Arthur masih kebingungan, pintu kamar terbuka dan ada seseorang yang masuk. Begitu Arthur melihatnya ternyata orang itu adalah Alfred.

“Alfred! Hei, sebenarnya aku ada di mana? Jangan-jangan ini rumahmu, ya?”

“…..kamu….sudah sadar….ya?”

“Haah? Dilihat juga tahu kalau aku ini sudah sadar, bodoh!” Kata Arthur kesal.

“….Syukurlah…syukurlah….kamu tidak apa-apa.” kata Alfred dengan nada lirih lalu setetes air mata mengalir dari kedua bola mata Alfred.

“He-Hei….kenapa kamu menangis…?” Tanya Arthur bingung.

“….kupikir….kamu nggak akan bangun lagi….maafkan aku! Maaf!”

Air mata Alfred semakin deras, kepalanya menunduk dan tangannya mengepal keras. Arthur masih menatap pemuda bermata biru itu dengan bingung. Kemudian Arthur berdiri dan berjalan mendekati Alfred.

“Benar-benar deh…” kata Arthur sambil menghela nafas, “kamu itu laki-laki, kan? Jangan menangis semudah itu! Gentleman itu tidak boleh menangis di depan umum, tahu! Angkat wajahmu!”

Alfred mengangkat wajahnya perlahan. Matanya berair, pipinya basah karena air mata dan bibirnya terkatup rapat walaupun gemetar.

“Tidak ada gunanya kamu minta maaf, bodoh!” Kata Arthur sambil menjitak keras dahi Alfred, “Karena…kamu tidak salah apa-apa.”

“Sakit!” Teriak Alfred sambil memegang dahinya.

“Sudah! Berhenti nangis! Dan cuci mukamu sana! Wajahmu kacau, tahu!”

Air mata Alfred berhenti. Dia pun sudah lebih tenang dari sebelumnya kemudian Alfred tersenyum.

“Haah? Tadi kamu menangis dan sekarang kamu malah tersenyum….” Kata Arthur sambil melihat Alfred dengan heran.

“Kukira….waktu kamu bangun kamu akan marah-marah seperti biasanya…” Kata Alfred sambil menghapus air matanya.

“A-Aku memang lagi marah dan kesal, tahu! Pergi sana!”

“Iya. Iya.”

Alfred berjalan keluar kamar sementara Arthur tetap diam berdiri dengan wajah sedikit memerah.

Tadi dia itu ngapain, sih!? Benar juga ya…ini pertama kalinya ada yang menangisi untuk diriku…. Sewaktu aku masih manusia pun….belum pernah ada yang menangis untukku … 

“Temanmu baik, ya.”

“Te-Teman!? Di-Di-Dia sendiri kok yang memutuskan jadi te-temanku! La-Lagi pula seharusnya dia nggak usah pakai nangis segala.” Kata Arthur gugup.

“Dia sangat khawatir sejak kamu pingsan. Untungnya kamu tidak apa-apa.”

“Huuh. Padahal dia nggak usah sepanik itu…dasar…hah?”

Arthur tersadar akan sesuatu dan menoleh ke belakang. Di belakangnya ada seorang gadis berambut pirang pendek dengan pita yang terikat di rambutnya. Gadis itu terlihat kaget karena Arthur menoleh tiba-tiba.

“A-Anuu…Halo….saya dari tadi menjagamu di sini. Melihatmu bangun tiba-tiba saya ikut kaget. Tapi, saya juga tidak mau mengganggu pembicaraan kalian berdua.”

Eh.

Eh?

Eh!

EEEEEEHH!!??

Kok dia ada di sini!!?


‘A-Anu. Kamu tidak apa-apa? Wajahmu memerah….”

Lili terlihat semakin bingung melihat Arthur yang kaget setengah mati melihat dirinya. Tidak lama kemudian, Alfred kembali memasuki kamar namun Arthur malah menariknya keluar.

“Sebenarnya ini di mana? Jawab!” Tanya Arthur dengan nada kesal tapi suaranya dipelankan.

“Eeeeh!? Ini di toko bunga itu…soalnya kamu pingsan dan gadis pemilik toko juga memperbolehkan kamu tidur di sini…”

‘Kenapa kamu bawa aku ke sini, bodoh!!!”

“Soalnya kemana lagi??”

“Sudah berapa lama aku di sini?”

“Mmmm….kamu tidur seharian…sekarang pun sudah malam…”

“Seharian!?”

“Anu…Ada apa?” Tanya Lili yang baru keluar kamar.

“Ahahahaha. Nggak ada apa-apa. Sepertinya setelah tidur seharian, tenaganya sudah kembali. Makanya dia jadi bersemangat.” kata Alfred sambil tertawa.

“Kamu ngomong apa sih, bodoh! Kita pulang!” kata Arthur kesal.

“Eh!? Kok buru-buru?” Tanya Alfred.

Arthur hanya terdiam. Dia menarik Alfred keluar rumah. Melihat wajah Arthur yang memerah Alfred akhirnya mengerti dan tersenyum kecil.

“Ah. Sepertinya kami harus pergi. Terima kasih atas bantuannya, ya.” Kata Alfred yang masih ditarik Arthur.

“Oh begitu. Baiklah. Hati-hati di jalan, ya. Alfred dan…Arthur.” Kata Lili sambil tersenyum.

Mendengar namanya disebut oleh Lili, Arthur kaget dan wajahnya semakin memerah. Dia pun menarik Alfred semakin keras dan berlari menjauh secepat mungkin.

“Kami pasti akan membalas kebaikanmu, Lili!” Teriak Alfred karena mereka berdua sudah semakin menjauh dari toko bunga itu.

Mereka berdua berhenti setelah berlari agak jauh. Arthur terlihat sangat kelelahan dan sebaliknya Alfred baik-baik saja.

“Arthur….lebih baik kamu nggak memaksakan diri. Nanti kamu pingsan lagi..”

“Darimana dia tahu namaku?” Tanya Arthur dengan nafas terengah-engah.

“Eh? Aku yang kasih tahu.” Jawab Alfred polos.

“Kenapa kamu kasih tahu, bodoh!” Kata Arthur kesal sambil mencengkram kerah baju Alfred.

“Eeeh? Memangnya kenapa?”

“Soalnya…pokoknya begitu!”

Arthur melepaskan kerah baju Alfred dan membalikkan tubuhnya saking malunya. Alfred melihat Arthur dengan heran, lalu dia malah tertawa.

“Apa yang lucu, bodoh!” Kata Arthur kesal.

“Kamu itu nggak pernah mau jujur,deh.”

“A-Apa! I-I-Itu bukan urusanmu!”

“Iya. Aku akan menunggu sampai kamu mau cerita, kok.”

“Si-siapa yang mau cerita! cerita dariku tidak ada yang menyenangkan…”

“Tidak apa-apa. Akan kutunggu kok.” Kata Alfred sambil tersenyum.

Wajah Arthur memerah lagi. Dia memalingkan wajahnya dari Alfred. Pria bermata hijau itu merasa kesal namun juga senang.

“Yah. Sudah saatnya aku pulang. Kamu juga masuklah ke rumah dan beristirahatlah.”

“Eh?”

Arthur baru sadar kalau dia ternyata sudah ada di depan pagar rumahnya. Ternyata mereka berdua lari sampai ke rumah Arthur.

“Sudah ya. Sampai jumpa.” Kata Alfred tersenyum sambil melambaikan tangan.

“Ah! Tunggu kamu kan---“

“Tenang saja. Aku sudah hapal jalannya kok. Tidak perlu khawatir.”

“Si-Siapa yang khawatir, bodoh! Dan..itu…Ma-Ma-Makasih…ya…” Kata Arthur pelan.

“Hm?”

“Argh! Sudahlah lupakan saja!” Kata Arthur kesal dengan wajah memerah.

“Padahal lebih bagus kalau kamu katakan lebih keras….”

“Jadi kamu dengar, ya!!! Bodoh! Bodoh! Bodoh!”

Alfred pergi meninggalkan Arthur yang berteriak kesal sambil tertawa. Pria bermata hijau itu tetap merasa kesal walaupun Alfred sudah pergi. Kemudian dia pun memasuki rumahnya.

***

“Huuuh….nggak bisa tidur…” Keluh Arthur sambil bangkit dari kasurnya, “mungkin karena aku sudah tidur seharian kemarin…”

Arthur turun dari kasurnya dan berjalan keluar kamar. Pria bermata hijau itu, menuju ruang tengah.

“Yah karena tidak ada yang bisa kulakukan di siang hari, lebih baik begini saja.”

Dia menyiapkan peralatan teh dan kue, kemudian dia duduk di meja makan dan melakukan acara minum teh sendirian.

Dulu…aku sering melakukan ini sendirian…minum teh…..semuanya sendirian…. Sekarang pun…tetap sendirian…

“Jadi manusia maupun vampir tidak ada bedanya bagiku…kecuali….aku butuh darah…dan itu tidak menyenangkan!”

Arthur meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu depan. Tapi pria beralis tebal itu hanya berdiri di depan pintu tanpa membukanya.

“Hei….kamu ada di situ, kan. Alfred?”

“Heeeh. Kamu tahu ada di sini? Hebat!” terdengar suara Alfred dari luar.

“Itu karena bau darahmu tercium, bodoh! Sedang apa kamu di sini?”

“Ah! Pasti Karena aku baru tertusuk duri…” kata Alfred sambil melihat jarinya yang terluka, “Aku cuma duduk sambil melihat taman bungamu, kok. Waktu itu kan aku belum sempat menikmatinya.”

“Huh! Bodoh banget, sih..”

“Kamu sendiri sedang apa?” Tanya Alfred.

“Aku cuma melakukan afternoon tea. Dan itu bukan urusanmu!”

“….Sendirian…?”

“Memangnya dengan siapa lagi, bodoh!”

“Lili…dia juga tinggal sendirian…katanya kakak satu-satunya meninggal 10 tahun yang lalu…”

Arthur terdiam. Mendengar kata-kata Alfred barusan membuat tubuhnya bergetar.

“Begitu ya….kamu sudah tahu…”

Alfred tidak menyahut, dia hanya terdiam.

“Apa kamu ingin tahu kejadian yang sebenarnya? Ini sama sekali bukan cerita yang menyenangkan. Apa kamu tetap ingin mendengarnya?”

Arthur menunggu jawaban Alfred, namun Alfred tidak menjawab apa-apa. Walaupun begitu pria bermata hijau itu tetap bercerita.

“Aku…akulah yang membunuh kakaknya 10 tahun yang lalu…” Kata Arthur dengan nada lirih.

Arthur pun duduk bersandar di pintu, tubuhnya masih gemetar. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba dia mau menceritakan hal yang disembunyikannya dari dulu. Dengan perasaan aneh yang masih dia rasakan, Arthur melanjutkan bercerita.

“Aku menjadi vampir sekitar 12 tahun lalu, tapi aku tidak mau membicarakannya. Aku takut. Takut pada diriku sendiri maupun orang lain. Tapi waktu itu…10 tahun yang lalu…aku bertemu dengan seseorang…dan semua…terjadi begitu saja…aku melihat orang itu mati dan aku lari.”

Suasana masih hening. Tapi Arthur tidak peduli walaupun tidak ada satupun yang mendengarkannya, semua yang tertahan dan yang membuat rasa sakit ini, ingin dia keluarkan saat itu juga.

“Orang itu adalah orang pertama yang aku gigit. Aku merasa sangat bersalah karenanya. Lalu, aku mencari tahu tentang orang itu dan akhirnya aku menemukan dimana orang itu dikuburkan. Setiap hari, aku selalu datang melihat kuburan itu dari balik pepohonan, dan aku selalu melihat ada seorang gadis kecil yang meletakkan sekuntum bunga di kuburan itu…setiap hari…. Kemudian akhirnya aku tahu kalau gadis itu adalah adik orang itu. Tanpa sadar aku selalu mengikuti gadis itu. Dan…aku tahu kalau dia tinggal di sebuah toko bunga.…tapi dia jadi tinggal sendirian gara-gara aku. Walaupun hidup susah…dia selalu tersenyum…”:

Arthur menghela nafas sejenak setelah bercerita panjang. Suasana pun masih hening. Tapi dari luar terdengar suara gemerisik dedaunan yang ditiup angin.

“Entah apa yang ada dipikiranku waktu itu, setiap hari aku selalu memberikan bunga ke tempatnya. Mungkin yang aku lakukan ini tidak cukup membantunya, aku berpikir kalau aku bisa dimaafkan…tapi…percuma saja…Ah iya, waktu aku bertemu denganmu itulah pertama kalinya aku ingin memberikan bunga ke gadis itu. Tapi bunga itu malah ada padamu…pasti bunga itu sekarang sudah kering--”

“Tidak, kok. Bunga itu sekarang sedang mekar.”

Akhirnya suara Alfred terdengar. Arthur sedikit terkejut karena pemuda bermata biru itu masih ada di depan pintu.

“Tapi waktu itu…kamu tidak membawa bunganya lagi..?” Tanya Arthur.

“Wah! Berarti kamu selalu melihatku menunggumu ya?” Alfred bertanya balik dengan nada senang.

Arthur malah malu sendiri dengan kata-katanya yang baru dia ucapkan. Dia pun hanya terdiam malu.

“Waktu itu…bunga mawarnya sedikit kering. Aku menjadi panik. Semenjak itu aku mempelajari bagaimana merawat bunga dengan baik, hingga akhirnya bunga itu mekar kembali. Melihat bunga itu mekar lagi membuatku yakin kalau aku akan bertemu dengan pria bermata hijau pemilik bunga mawar itu sekali lagi. Dan akhirnya…aku memang bertemu denganmu, Arthur.”

“Huh. Padahal aku ini tidak pantas ditunggu…”

“Banyak yang menunggumu, lho! Aku…dan Lili juga pasti menunggu orang yang memberikannya bunga datang.”

“Ka-Kamu itu bodoh, ya!?” Kata Arthur dengan nada kesal, “mana mungkin aku bertemu dengannya! Aku ini sudah membunuh kakaknya! Dia pasti akan meyalahkanku dan—“

“Kamu belum tahu. Apa dia akan membencimu waktu kamu bilang kamulah yang membunuh kakaknya, apa dia akan memakimu ataupun yang lainnya. Kamu tidak akan tahu. Karena kamu belum mencoba.”

Mata Arthur melebar. Alfred mengatakan sesuatu yang pernah dia dengar dari seseorang sebelumnya.

“Jujur itu tidak pernah membuat kita salah. Justru jujur membuat kita lega. Apapun yang akan kita terima nantinya, setidaknya tidak ada beban lagi.”

“….Apa…masih bisa…?”

“Menurutku tidak ada kata terlambat kok.”

Arthur terdiam. Dia menunduk seperti memikirkan sesuatu. Kemudian dia berdiri dan membuka pintu. Dia pun keluar. Alfred terlihat kaget karena saat itu masih siang hari, tapi keadaannya sedang mendung dan pemuda bermata biru itupun menghela nafas lega.

“Ah iya. Sudah mulai mendung. Jangan-jangan kamu tahu kalau di luar mendung jadinya kamu keluar?”

Anak ini…mengatakan hal yang sama dengan dia….semua kata-katanya tadi…bagaimana bisa?

“Kamu…padahal kamu hanya seorang bocah polos dan cengeng. Tapi kenapa kamu bisa mengatakan hal-hal seperti tadi?”

Alfred menatap bingung Arthur yang melihatnya dengan tatapan serius. Dia menggaruk-garuk kepalanya sendiri kemudian dia tersenyum.

“Aku cuma mengatakan apa yang ada di kepalaku, kok!”

Arthur terkejut mendengar tanggapan dari Alfred. Tapi kemudian dia berjalan menuju pagar rumahnya.

“Kalau nanti dia membenci dan memakiku…jangan ketawain aku, ya.” Kata Arthur tanpa menoleh ke Alfred.

“Tenang saja! Aku akan menghiburmu, kok!” Kata Alfred dengan nada ceria sambil berlari mendekati Arthur.

“Siapa yang minta dihibur, bodoh!” Kata Arthur kesal.

Kenapa aku bisa mengatakan apa yang kupendam selama ini ke anak itu…apa karena dihalangi pintu dan tembok…apa anak itu sengaja? Apalagi kemarin dia bilang akan menungguku cerita….haaah…aku semakin tidak mengerti anak itu…

****

Akhirnya mereka berdua sampai di depan toko bunga milik Lili yang mereka kunjungi kemarin.

“Nah. Kita sudah sampai!” Kata Alfred dengan ceria.

“Kenapa kamu ikut ke sini, bodoh!!”

“Lho? Aku kan yang jadi penyemangatmu di sini.”

“Hhhh…sudahlah…terserah!”

Arthur berjalan menuju pintu depan toko itu, namun tiba-tiba Alfred menarik tangannya membuat Arthur hampir jatuh.

“Kamu ngapain sih!!?” Kata Arthur kesal.

“Ini!” Alfred menyodorkan pot bunga mawar merah ke Arthur, “seharusnya kamu kasih ini ke Lili 10 tahun yang lalu, kan? Ini saatnya kamu memberinya bunga ini.”

Arthur melihat pot bunga itu dengan tatapan datar.Karena dia tidak suka dengan mawar merah. Tapi Arthur menutup matanya sejenak dan menerima pot bunga itu.

“Menyalahkan bunga pun tidak ada gunanya, kan? Mudah-mudahan bunga ini tidak membawa sial.”

“Bunga ini malah membawa keberuntungan untukku, lho!”

Arthur hanya cemberut kesal dan berbalik menuju pintu depan toko bunga itu. Sementara itu, Alfred pergi menjauh, namun diam-diam pemuda bermata biru itu bersembunyi di semak-semak tidak jauh dari toko bunga itu. Setelah sampai di depan pintu Arthur hanya berdiri dengan gugup. Akhirnya Arthur memberanikan diri mengetuk pintu. Baru dua ketukan pintu sudah terbuka.

“Iya. Siapa?”

Kepala Lili melongo keluar melihat siapa yang ada di depan pintu.

Dia ada! Dia ada!! Dan Dia buka pintunya!!!

“E-E-eeh…I-Itu Ka-kamu masih ingat aku, kan?”

Saking gugupnya Arthur malah bertanya balik. Seharusnya dia menyebutkan namanya sendiri. Tapi sudah terlanjur terucap, pria bermata hijau itu hanya terdiam dengan wajah memerah karena malu.

“Ah, Arthur. Kamu datang ke sini lagi. Senangnya.” Kata Lili sambil tersenyum, “kamu sudah sehat?”

“I-Iya.” Jawab Arthur yang masih gugup sambil mengangguk.

“Syukurlah. Silahkan masuk.”

Setelah dipersilahkan masuk, pria bermata hijau itu pun berjalan masuk. Walaupun sebenarnya Arthur enggan untuk masuk karena dia ingin menyelesaikan ini secepatnya. Tapi akhirnya dia masuk juga. Sementara itu, di balik semak-semak Alfred melihat Arthur dari kejauhan.

“Yes! Akhirnya dia masuk juga! Mudah-mudahan berjalan baik.”

Tiba-tiba hujan gerimis turun. Untungnya, jaket yang dipakai Alfred ada tudungnya, sehingga dia memakainya agar tidak terlalu basah. Tiba-tiba di depannya muncul seorang pria berambut pirang sebahu dengan gaya yang flamboyan. Dia memegang payung dan sedang menatap toko bunga milik Lili.

“Berjalan baik, ya? Menurutku akan ada air mata yang keluar dari bola mata seseorang…sama seperti langit yang sedang menangis sekarang.” Kata orang itu.

“Paman siapa?” Tanya Alfred bingung. Apalagi dia tambah bingung karena orang itu mendengar apa yang tadi dia katakan.

“Aku? Aku adalah orang yang akan membawa alis tebal sialan itu ke neraka!”

****

Arthur masih kelihatan gugup. Sekarang dia duduk dengan disuguhi teh dan kue-kue. Semua hal itu membuat Arthur tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan.

Aku tidak bisa lama-lama di sini! Tapi aku juga tidak mungkin bicara langsung!

“Anu…kamu tidak apa-apa?” Tanya Lili bingung.

“Ti-Tidak apa-apa, kok.”

Kenapa aku segugup ini? Ini bukan karena aku takut…entah sejak kapan…aku merasakan sesuatu dari gadis ini…karena setiap hari aku melihat dia tersenyum…walaupun dia sendirian…tapi aku menahan perasaan itu….karena aku tidak mungkin bisa dekat dengannya….

“Oh iya. Alfred di mana?”

Pertanyaan Lili membuat Arthur tersadar dari lamunannya.

“Di-Dia tidak ikut…lagipula dia tidak mungkin mengikutiku terus.”

“Soalnya kalian berteman baik, bukan?” Kata Lili sambil tersenyum, “Anu…maaf, bunga mawar yang kamu bawa indah sekali.”

“I-I-Ini…mawar ini…ini untukmu!” Kata Arthur sambil menyodorkan pot bunga itu dengan wajah menunduk.

“Untuk saya?”

“I-I-Itu…balasan sudah menolongku kemarin…iya…tanda terima kasih dariku!”

Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bilang begitu! Seharusnya aku kan jujur!! Bodoh!!!

Lili menatap bingung pot bunga yang diberikan Arthur. Kemudian dia tersenyum dan menerima bunga itu.

“Terima kasih banyak.”

Arthur merasa lega karena Lili senang menerima pemberiannya. Tapi Arthur jadi tambah gugup dan tidak tahu harus ngomong apa.

“Ngomong-ngomong, soal bunga mawar, setiap hari, di depan pintu rumah selalu ada bunga mawar merah yang diberikan untukku. Aku sangat senang menerimanya dan aku selalu ingin berterima kasih pada orang itu sejak sepuluh tahun yang lalu.”

Melihat bunga mawar merah itu, Lili pun tersenyum.

“Dulu kakak saya bilang,” Lili melanjutkan, “Mawar merah itu melambangkan cinta untuk yang terkasih. Karena itu saya suka bunga ini. Kakak suka mengajari saya tentang bunga….tapi sekarang tidak lagi… ”

“…kamu tahu…penyebab kematian kakakmu…?”

Mata Lili melabar karena kaget mendengar pertanyaan Arthur.

“…….Saya masih kecil waktu itu…jadi saya tidak begitu mengerti…tapi katanya kematiannya tidak wajar.”

“Kalau kakakmu itu dibunuh….apa kamu akan membenci pembunuhnya?”

Jantung Arthur berdetak keras dan kencang. Tubuhnya pun juga gemetar Lili tidak langsung menjawab pertanyaan Arthur. Dia hanya terdiam bingung.

“…Saya…tidak tahu. Kalau memang benar begitu….saya hanya ingin bertanya, kenapa dia membunuh kakak.”

“Kalau alasannya untuk kepentingan pribadi? Dia membunuhnya tanpa mempunyai alasan sedikit pun. Apa kamu masih menerima hal seperti itu?”

Arthur menatap Lili dengan tatapan serius dengan tubuhnya yang gemetar dan jantung yang berdegup keras. Gadis berambut pirang itu melihat Arthur dengan bingung. Lili membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba ada suara petir yang sangat keras membuat Lili kaget dan menjatuhkan pot bunga yang dipegangnya.

“Aah…Ma-Maaf..”

Dengan panik Lili membereskan pecahan-pechan keramik pot yang berserakan di lantai.

“”Hati-hati! Nanti kamu terluka!”

Baru saja diperingati Arthur, jari Lili sudah tergores pecahan keramik. Lukanya cukup dalam sampai-sampai mengeluarkan darah. Hal itu membuat Arthur berhenti bergerak.

Gawat! darah…gawat! Aku…aku tidak bisa menahannya!

Arthur mundur perlahan-lahan. Kepalanya mulai pusing, pandangannya pun jadi tidak fokus. Suara Lili yang bertanya heran tidak di dengarnya. Arthur terlalu sibuk menahan rasa ingin menghisap darah.

Aku…harus segera…pergi!

Tapi rasa sakit di kepalanya sudah tidak tertahankan lagi. Arthur pun kehilangan keseimbangan dan jatuh.

“Kamu tidak apa-apa?” Tanya LIli panik sambil berlari mendekati Arthur.

“Jangan mendekat!” Teriak Arthur sambil menepis tangan Lili.

Lili tersentak mundur. Arthur berusaha menutup wajahnya. Tapi Lili sudah melihat sosok Arthur dengan gigi taring panjang yang ada di mulutnya. Gadis itu menatapnya dengan tidak percaya, Arthur merasa malu dan kesal, dia ingin lari tapi tenaganya tidak ada. Dia pun berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.

“Kamu…benar-benar…vampir?”

Pria bermata hijau itu terlihat kaget mendengar pertanyaan Lili. Gadis itu pun masih menatapnya dengan heran dan tidak percaya.

“Kamu sudah tahu kalau aku adalah vampir.....?” kata Arthur tersenyum pahit, “ya, akulah yang membunuh kakakmu. Malang sekali, bukan…kakakmu dibunuh oleh seorang pria...bukan, vampir pengecut yang tidak tahu diri.”

Setelah mengatakan itu, Arthur berdiri dari berlari keluar. Hujan turun semakin deras, namun Arthur terus berlari menerjang hujan. Rasa malu, sedih, bersalah dan marah bercampur di hati pria berambut pirang itu sekarang. Air hujan yang menerpanya tidak bisa menghilangkan semua perasaan itu.

“Arthur!! Tunggu!!” Teriak Lili yang sedang berlari mengejar Arthur.

Melihat Lili mengejarnya dengan susah payah di hujan deras yang sedang turun, Arthur berhenti. Tapi semua perasaan yang bertumpuk masih tidak hilang.

“Kenapa kamu mengejarku? Apa kamu mau mengucapkan semua makian dan rasa kekesalan atas kematian kakakmu…?” Tanya Arthur setelah Lili berdiri di dekatnya.

Lili tidak langsung menjawab, dia mengatur nafasnya yang terengah-engah. Wajahnya yang basah karena hujan membuatnya susah bernafas.

“…Saya….tidak akan memaki atapun menumpahkan rasa kesal….karena kakak tidak akan kembali….dan kamu akan merasa sedih, bukan?”

“Ke-Kenapa kamu malah peduli padaku!? Padahal kamu tinggal bilang ‘aku benci kamu’ atau ‘semua ini salahmu’ agar aku tenang!”

“Benarkah kamu akan tenang? Bukannya kamu akan tambah tersiksa karena rasa bersalah? Kalau seperti itu….saya tidak mau mengatakannya…lagipula, saya memang tidak mau mengatakannya.”

Arthur hanya terdiam, dia menatap Lili dengan bingung dan heran. Hujan masih turun dengan deras dan juga mulai terdengar suara gemuruh petir.

“Waktu kamu lari tadi…” Lili melanjutkan, “aku merasa akan kehilangan seseorang lagi….sama seperti waktu kakak pergi…karena itu aku mengejarmu…”

“Ta-Tapi…kamu tidak mengenalku…”

“Ah iya. Benar juga. Bagaimana kalau kita mulai berkenalan di sini, di tempat ini. Kita mulai dari awal. Agar kita saling mengenal dan tahu satu sama lain. Berkenalan lebih menyenangkan daripada ditinggalkan, bukan?”

Lili menjulurkan tangannya ke Arthur sambil tersenyum.

“Halo. Nama saya Lili Zwingli. Senang bertemu denganmu. Siapa namamu?”

Arthur benar-benar tidak menyangka situasinya akan berjalan seperti ini. Padahal dia membayangkan akan dihina atau dicaci maki dan dibenci oleh gadis berambut pirang itu. Tapi nyatanya sekarang gadis itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Pria bermata hijau itu tidak langsung menyambut tangan Lili. Dia masih diliputi rasa takut, Tapi melihat tubuh Lili gemetar kedinginan karena hujan, akhirnya Arthur mengulurkan tangannya juga.

“Na-Namaku…. “

“Namaku Francis Bonnefoy. Salam kenal, alis tebal sialan!”

Betapa terkejutnya Arthur melihat tangannya dijabat oleh seseorang berambut pirang sebahu dengan jenggot tipis di dagunya. Dia menjabat tangan Arthur sambil tersenyum tidak menyenangkan.

“Ka-kamu..! Kenapa ada di sini!?” Tanya Arthur kaget sambil menampik tangan Francis .

“ Huh. Benar-benar tidak sopan. Lagi pula kamu membiarkan seorang gadis kehujanan seperti ini….benar-benar tidak jantan.” Kata Francis sambil memayungi Lili dengan payungnya.

“Francis…”

“Ka-Kamu kenal dia!? “ Tanya Arthur kaget melihat Lili mengenal Francis.

“Arthur!! Ada apa!? Kok kamu berlari keluar hujan-hujan begini?” Teriak Alfred yang sedang berlari mendekati mereka bertiga.

Begitu mendekati mereka terasa suasana tidak enak yang keluar antara Francis dan Arthur. Alfred dan juga Lili hanya menatap mereka dengan bingung juga khawatir. Seperti sesuatu yang buruk bisa terjadi sewaktu-waktu.

END CH 03

TO BE CONTINUED

Story by Dark lily 19-11-2010


Author Note: Membuat cerita sewaktu pikiran kacau memang tidak baik….buktinya waktu membuat cerita ini ceritanya jadi ngelantur…untungnya ada Nemuchan yang menuntunku kembali ke cerita yang benar. Tapi malah jadi panjang chapter ini…*tertawa pahit*

Nemuchan bertanya, “kenapa Alfred OOC begini? Sampai nangis segala.” dan kujawab, "Dari awal Alfred memang sudah OOC kok, karena aslinya dia nggak mungkin muji-muji Arthur XD" yah walaupun sebenarnya Alfred nangis itu tidak terduga (lho kok?)

Hubungan Arthur dengan Seychelles masih belum terungkap di sini…tapi dengan kemunculan Francis menandakan cerita ini akan segera berakhir. Karena Francis perannya dikit /dilempar sandal sama Francis.

Chapter 4
Chapter 5 (End)
Chapter 1
Chapter 2

Save And Share :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

back to top