Cari Blog Ini

Jumat, 04 Februari 2011

[Fanfic-Hetalia] Nice to Meet You (CH 04)


Disclaimer:The Characters (Arthur Kirkland/England/Britain, Alfred F. Jones/America/United States, Lili Zwingli/Liectenstein, Francis Bonnefoy/France, Liane S. Laurant/Seychelles) are original Character From Hetalia: Axis Powers by Himaruya Hidekaz.

Rating: T

Warning: AU, Pakai Human names, blood dll

Summary: Cerita tentang Arthur yang menjadi Vampir…UPDATE chapter 04. (aku ngga bisa bikin summary T_T baca aja deh /plak)

Chapter 04

Hari itu, di siang hari yang cerah setelah turun hujan, Lili keluar dari dapur rumahnya sambil membawa nampan besar berisi makanan dan menaruhnya di atas meja makan. Di meja itu pun sudah tersedia berbagai makanan yang siap disantap.

“Nah, semuanya selamat makan.” Kata Lili sambil tersenyum.

“Wah! Kelihatannya enak!!” Kata Alfred dengan mata berbinar-binar melihat makanan di atas meja makan.

“Tentu saja! Karena ini adalah hasil masakan yang penuh cinta dariku!”

Seorang pria rambut pirang yang diikat ekor kuda keluar dengan gaya dari dapur sambil membawa nampan makanan lainnya.

“Tanpa bantuan Francis, saya tidak mungkin bisa memasak makanan seenak ini.”

“Jangan bicara begitu, Lili” Francis meletakkan nampan ke atas meja setelah itu dia memegang kedua tangan Lili, “tanpamu aku tidak bisa membuat semua ini. Berada di samping gadis cantik di dapur membuat cita rasa masakan ikut meningkat!”

Lili hanya tersenyum bingung menghadapi sikap Francis sedangkan Alfred sudah memulai duluan memakan makanan yang ada di meja dengan lahap. Francis masih terus merayu Lili sampai ada sendok sayur yang meluncur tepat ke kepalanya.

“Sakit!” Francis memegang kepalanya sambil menoleh kesal ke meja makan, “siapa yang….ah, Pasti ini ulahmu, alis tebal sialan!”

Pria berambut pirang dengan alis yang tebal duduk di depan meja makan sambil cemberut kesal. Dia menatap Francis dengan tatapan tidak suka.

“Aku tidak melakukan apa-apa kok. Sendok itu terbang sendiri.” Kata Arthur sambil memalingkan muka.

“Mana ada sendok sayur terbang sendiri!” Kata Francis kesal.

“Wah, Arthur. Kamu lagi-lagi cemburu, ya?” Tanya Alfred polos sambil mengunyah makanan.

“Si-Siapa yang cemburu, bodoh!! Kamu makan saja sana, Alfred!”

Alfred malah tertawa mendengar Arthur berteriak kesal, hal itu membuat Arthur tambah emosi.

Kemudian Francis dan Lili menuju ke meja makan dan ikut duduk, sebaliknya pria bermata hijau itu malah berdiri.

“Eh? Arthur? Ada apa?” Tanya Lili sambil menoleh bingung.

“Sudah cukup. Hentikan semua kekonyolan ini. Katakan, jenggot sialan! Apa maumu?” Tanya Arthur serius.

“Apa yang aku inginkan? Untuk sekarang aku ingin makan siang.” Jawab Francis santai.

“Bu-Bukan itu maksudku, bodoh!! Kamu bisa serius dikit nggak sih!? Hei! Dengarkan aku!”

Francis terus mengacuhkan Arthur yang bersungut-sungut kesal padanya dan menikmati makan siang dengan santai. Lili yang melihat mereka berdua mulai khawatir dan ingin segera menghentikan.

“A-Anu… “

“Haaah. Mereka mulai lagi….sudahlah, Lili. Mereka tidak bisa dihentikan. Makan saja yuk! Nanti keburu dingin.” Kata Alfred sambil tersenyum.

“Tapi….kalau tidak dihentikan…”

“Tadi waktu di luar mereka juga begini….”

Beberapa jam sebelumnya, ketika mereka berempat masih ada di tengah hujan yang turun. Arthur masih terkejut melihat Francis ada di depannya sekarang dan yang lebih mengagetkan lagi karena pria berambut pirang sebahu itu kenal dengan Lili.

“Kenapa Lili bisa kenal aku, katamu? Kami tahu satu sama lain itu wajar kan. Karena kami ini sama-sama manusia.” kata Francis sambil tersenyum menyeringai.

“Wah, Arthur. Sepertinya dia tahu kalau kamu itu vampir.” Kata Alfred.

Tapi Arthur tidak menanggapi kata-kata Alfred, dia masih menatap Francis dengan kesal.

“Kamu…jadi kamu yang memberitahu soal aku, ya kan?”

Francis tidak menjawab. Dia hanya tersenyum melihat Arthur seakan itulah jawabannya. Melihat itu Arthur tersentak kaget, tangannya mengepal keras tubuhnya pun gemetar saking kesalnya. Kemudian dia pun membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi.

“Arthur!? Mau kemana?” Tanya Alfred bingung.

“Pulang. Tidak ada gunanya aku di sini.”

“Tapi….”

“Arthur…saya masih ingin bicara padamu…” Kata Lili dengan nada memohon.

Pria beralis tebal itu berhenti tapi dia tidak menoleh ke belakang, dia hanya terdiam.

“Huh. Biarkan saja alis tebal itu pergi. Sepertinya dia ingin membiarkan kita berduaan di rumahmu, Lili.” Kata Francis sambil medekapkan Lili ke pelukannya.

Lili sangat terkejut dan heran dengan yang dilakukan Francis tiba-tiba, wajahnya pun ikut memerah. Arthur pun menoleh ke belakang sambil berteriak kesal.

“Apa yang kamu lakukan, dasar mesum! Tidak akan kubiarkan kamu melakukan hal yang aneh-aneh! Kalau mau bicara di rumahku saja! ”

“Tapi aku mau di rumah Lili. Lebih dekat.“

Dengan sengaja, pria berambut pirang sebahu itu lebih mendekatkan gadis itu ke pelukannya.

“U-Ugh! Ba-Baiklah!! Dan lepaskan tanganmu itu!”

Francis pun melepaskan tangannya dari Lili. Lalu Arthur berjalan dengan kesal menuju ke rumah Lili. Alfred yang dari tadi melihat Arthur dengan bingung berusaha menahan tawa melihat Arthur yang tidak jadi pulang.

“Ternyata paman hebat juga!” Kata Alfred sambil tertawa.

“Ini hal mudah bagiku. Dan jangan panggil aku paman! Panggil aku kakak!”

Francis menunjuk Alfred sambil tersenyum gaya, namun pemuda berambut pirang itu tidak ambil peduli dan mengajak Lili untuk kembali ke rumahnya. Francis pun marah karena diacuhkan tapi mereka berdua sudah berlari menjauh. Francis pun hanya menghela nafas dan mengikuti mereka ke rumah Lili.

Dan sekarang mereka semua sedang berada di meja makan untuk menikmati makan siang. Arthur masih saja marah-marah ke Francis yang tidak memperdulikannya sedikit pun. Alfred pun terus memakan semua makanan yang ada dengan lahapnya sementara Lili hanya kebingungan melihat situasi yang dia hadapi sekarang.

“Oh iya, Lili. Aku lupa bilang. Terima kasih telah meminjamkan baju untuk kami semua. Kalau tidak kami semua masih kebasahan.” Kata Francis setelah mengelap mulutnya dengan serbet.

“Untungnya baju-baju kakak masih saya simpan. Syukurlah kalau muat.” Kata Lili sambil tersenyum.

“Agak sempit sih. Tapi tidak masalah.” Alfred melihat kemeja yang dikenakannya, “oh iya. Ini pertama kalinya aku melihat Arthur tanpa baju warna hitam.”

“Me-Memangnya kenapa, bodoh! Dan jangan ketawa!” kesal Arthur.

“Jadi kamu selalu pakai baju warna hitam? Benar-benar tidak modis.” Kata Francis dengan nada meremehkan.

“Itu bukan urusanmu! Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan semua ini!” Teriak Arthur kesal.

“Kenapa? Kalau mau ke toilet, cepat sana.” Kata Francis sambil menyeruput teh.

“Bukan itu maksudku, bodoh! Kamu mau kuhajar, ya!!!”

“Paman! Aku mau Tanya! Apa hubunganmu dengan Arthur? Padahal Arthur tidak pernah berhubungan dengan orang lain, tapi kenapa kamu bisa tahu?” Tanya Alfred tiba-tiba.

“Pertanyaan yang bagus, anak muda. Tapi panggil aku kakak dulu!”

“Tidak mau.” Alfred menolak dengan ekspresi datar.

“Cih. Tidak seru, ah.” Cibir Francis.

“’Hei! Dasar sialan! Bukannya kamu punya urusan denganku!?”

Lagi-lagi Arthur berteriak ke Francis dengan kesal, tapi yang bersangkutan hanya meliriknya sebentar dan kembali meminum tehnya.

“Kamu berisik banget sih, aku jadi tidak mood.” Jawab Francis cuek

Arthur langsung shock mendengarnya membuatnya merasa dipermainkan sehingga dia pun hanya terdiam dengan mulut ternganga saking kesalnya.

“Walaupun begitu aku akan menjawab pertanyaanmu, anak muda. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengan alis tebal yang kamu panggil Arthur ini.”

“Tunggu…’yang kamu panggil Arthur’….kamu baru tahu namanya sekarang?” Tanya Alfred sedikit terkejut.

“Wah. Ternyata kamu lebih pintar dari yang kukira, anak muda. Benar. Aku hanya tahu kalau dia itu vampir. Tanpa tahu nama dan di mana tempat tinggalnya. Karena itu aku kesulitan mencarinya selama 2 tahun ini.”

“Lalu…untuk apa kamu mencari Arthur?”

“Hmm…aku ingin mengantar pria alis tebal ini ke neraka dengan penuh cinta~”

Francis mengedipkan matanya, hal itu membuat Alfred dan Arthur bergidik.

“Ka-Kamu sedang mabuk ya….?” Tanya Alfred sambil menatap aneh France

“Huh, dasar!” Arthur menghela nafas panjang, “kamu mencariku karena ingin membalas pukulanku 2 tahun yang lalu kan? Atau…paling tidak sesuatu yang berhubung dengan ‘dia’.”

“Hmp. Rasa sakit di pipiku ini masih terasa sampai sekarang. Tapi aku ini pria gentle penentang kekerasan jadi aku tidak akan membalas pukulanmu. Tapi, kalau yang berhubungan dengan ‘dia’ ada benarnya.”

“Huh, nggak ada gunanya! Aku pergi saja!” Kata Arthur sambil berbalik dan berjalan menuju pintu.

“Dasar…kamu itu mudah ngambek, ya. Apa kamu tidak mau bernostalgia mengingat masa lalu?”

“Tidak tertarik..” Kata Arthur cuek.

Setelah tersengar suara pintu tertutup suasana menjadi hening. France menatap pintu dengan sedikit kesal.

“Haaah. Bagaimana kalau dia kabur lagi…..sulit sekali mencari si alis tebal itu.” Keluh Francis.

“Tenang saja. Arthur nggak akan kemana-mana, kok. Kalau dia bilang mau di sini, pasti dia tetap di sini.” Kata Alfred sambil nyengir.

“Benar. Lagipula saya masih ingin bicara banyak dengannya. Pastinya dia tidak akan pergi.” Kata Lili juga ikut tersenyum.

“Huh. Kalian percaya sekali dengannya, padahal kalian baru saja bertemu. Terutama kamu, Lili. Bukankah dia yang sudah membuat kakakmu mati.”

Lili hanya terdiam, wajahnya tertunduk sedih. Mata Alfred melebar karena terkejut mendengar kata-kata Francis. Lalu dia menatap Lili dengan khawatir.

“Jadi Arthur sudah mengatakannya….terus, kenapa Francis bisa tahu?”

“Tentu saja aku bertanya ke Lili. Walaupun aku sudah duga tentang hal itu. Waktu aku mencari informasi tentang alis tebal itu, aku dengar ada seseorang tewas karena kehabisan darah, pasti ada kemungkinan dia pelakunya. Tapi vampir di dunia ini pastinya bukan dia saja. Lagipula kasusnya sudah 10 tahun yang lalu. Begitu aku mencari tahu lebih jauh, ternyata orang itu adalah kakaknya Lili.”

“Begitu….lalu, Lili…apa kamu….ah tidak, kenapa kamu mengehentikan Arthur pergi?”

“Saya…” Lili terhenti wajahnya masih tertunduk, tapi kemudian dia mengangkat wajahnya walaupun dia masih menatap ke bawah, “ketika Arthur mengatakannya dia begitu sedih dan tersiksa. Sepertinya dia jauh lebih tersiksa dari saya yang kehilangan. Lagipula saya tidak bisa membencinya.”

Melihat wajah Lili yang tersenyum, Alfred pun ikut senang dan juga tersenyum.

“Syukurlah. Arthur pasti senang mendengarnya.”

“Kamu peduli sekali dengannya….” Kata Francis.

“Tentu saja. Dia temanku, karena itu aku peduli!”

“Teman ya….apa alis tebal bodoh itu juga menganggap ‘dia’ teman ya….”

“Oh iya…’dia’ itu…siapa? Kamu dan Arthur menyebut ‘dia’ beberapa kali…” Tanya Alfred.

“‘dia’ adalah bidadari paling cantik yang pernah kutemui. Tapi sekarang….dia sudah kembali ke surga.”

Alfred dan Lili terkejut mendengar perkataan Francis, Alfred membuka mulutnya ingin bertanya sesuatu, tapi Francis menghentikan seakan sudah tahu apa yang ingin dikatan Alfred.

“Benar. ‘dia’ sudah meninggal, tapi ‘dia’ tidak mati gara-gara orang itu, kok. Hal itu memang sudah saatnya. Karena penyakitnya memang sudah tidak bisa disembuhkan. Sebelum meninggal, dia’ bercerita ketika bertemu dengan si alis tebal.”

****************

Setelah Arthur keluar, dia terus bersungut-sungut kesal gara-gara Francis. Dia melihat pintu teras terbuka, dari tempat Arthur berdiri bisa terlihat bunga-bunga yang habis dimasukkan ke dalam karena hujan. Pria berambut pirang itu duduk di tempat ia berdiri dan dia melihat bunga-bunga itu dalam diam.

“Pasti si mesum sialan itu sedang bercerita tentang ‘dia’ ke mereka berdua. Semoga saja dia tidak cerita yang aneh-aneh! Tapi nggak mungkin juga aku masuk lagi….”

‘dia; ya….benar juga…sudah 2 tahun sejak saat itu......

************

“Hei! Alis tebal! Kamu telat!” Teriak gadis berkulit gelap yang sedang duduk di teras rumah.

“Me-Memangnya kenapa! Aku nggak nyuruh kamu nunggu kok! Kamu yang nunggu aku atas kemauanmu sendiri, kan!?” Balas Arthur kesal.

“Hmmm….kamu berani melawan, ya?”

Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya sambil tersenyum dan itu adalah dua lembar foto yang dia perlihatkan sebelumnya. Melihat itu Arthur langsung merengut kesal.

“Nah, mana pesenanku?” Kata gadis itu sambil mengulurkan tangan seperti meminta sesuatu.

“Nih! Permintaanmu aneh banget sih!”

Arthur memberikan sebuah kamera Polaroid dengan beberapa lembar foto ke gadis itu. Gadis itu pun terlihat senang dan melihatnya.

“Ternyata kamu bisa pakai kamera juga, ya.”

“Tentu saja bisa, bodoh!” Kata Arthur kesal sambil duduk di sebelah gadis itu.

“Heee. Jadi ini gadis yang kamu temui tiap malam? Masih kecil…kamu itu lolicon ya? Dan ada anak cowok juga!? ”

“Si-Siapa yang lolicon, bodoh! Kamu itu nggak ngerti apa-apa jadi jangan bicara sembarangan! Kamu cuma minta fofo siapa saja yang aku lihat kan!?”

“Dan kamu melakukan itu semua. Kamu benar-benar penurut.”

“Siapapun kalau diancam juga bakal patuh!” Kata Arthur kesal.

Sejak saat itu, gadis itu selalu datang menemuiku. Dia tidak takut padaku sama sekali dan selalu membicarakan hal tidak penting. Dan yang paling menyebalkan, dia selaulu ingin tahu urusan orang!

“Aku sudah memenuhi keinginanmu, kan? Jadi berikan foto-foto itu dan segera pergi dari sini!”

“Cih, kenapa sih?” Kata gadis itu sambil menatap Arthur kesal, “kamu harusnya berterima kasih padaku karena mau menemanimu di sini!”

“Memangnya aku pernah minta hal seperti, bodoh!!” Teriak Arthur kesal.

Kejadian seperti selalu terjadi setiap hari. Gadis itu tidak pernah bosan datang dan bertanya tentang diriku walaupun aku tidak pernah menjawabnya. Sebenarnya…..apa yang diinginkan gadis ini?

“Hei! Sebenarnya apa maumu?” Tanya Arthur dengn wajah serius, “kamu bukan kesini hanya untuk iseng, kan?”

“Aku ke sini memang untuk iseng kok!” Jawab gadis itu sambil tertawa.

“Jangan bercanda! Apa kamu sadar siapa aku ini! Apa kamu tidak takut!?”

“Kamu tidak menakutkan kok.” Kata gadis itu sambil tersenyum.

Melihat senyuman gadis itu wajah Arthur bersemu merah. Pria beralis tebal itu langsung memalingkan karena malu.

“Ahahahaha, Kamu juga bisa malu! Lucu sekali!”

“Berisik!” teriak Arthur kesal.

“Kamu mau…minum darahku?”

Tentu saja Arthur sangat terkejut mendengar pernyataan tiba-tiba gadis itu. Pria beralis tebal itu menatap gadis itu dengan bingung, menganggap dia hanya bercanda. Namun tatapan serius gadis itu menandakan dia sama sekali tidak bercanda.

“Aku…Aku tidak mau…menggigit orang lagi…” jawab Arthur pelan.

“Lagi?” Tanya gadis itu bingung, “yah tapi….asal tidak menggigitku, tidak apa-apa kan?”

“Hah?”

Gadis itu mengeluarkan gunting dari dalam tasnya dan tiba-tiba dia menggores lengannya sehingga darah keluar cukup banyak.

“A-Apa yang kamu lakukan, bodoh!” Kata Arthur panik dan heran.

Gadis itu diam saja melihat darah di tangannya terus mengalir. Sedangkan mulai bereaksi dengan bau darah yang tercium. Kepalanya mulai pusing karena berusaha menahan diri.

“Kenapa? Darahnya nanti jadi sia-sia lho.” Kata gadis itu tetap santai.

“Kamu….mau apa…sebenarnya?”

“Sudah jelas, kan. Minum darahku.”

Tubuh Arthur terus gemetar, dia berusaha menahan dirinya untuk tidak meminum darah itu. Tapi insting vampir-nya menginginkan darah itu. Gadis itu pun tetap tenang mengulurkan tangannya yang berdarah.

Akhirnya, Pria berambut pirang itu tidak dapat menahan dirinya lagi dan menarik tangan gadis itu.. Arthur menjilat darah yang mengalir di tangan gadis berambut warna hitam itu, lalu menghisap darah dari sumber lukanya. Dia terus menghisapnya seperti sedang meminum air karena kehausan. Tidak lama kemudian, seakan sadar akan sesuatu, Arthur berhenti dan melepaskan tangan gadis itu. Arthur mundur perlahan, tubuhnya tetap gemetar ketakutan.

“He? Sudah selesai? Cepat juga…..apa enak?”

“Jangan tanyakan hal itu!! Memangnya aku suka melakukan hal ini!? Pergi! PERGI!!”

Arthur berteriak keras sambil meringkuk ketakutan seakan telah mengalami hal yang menyakitkan. Gadis itu pun hanya melihat Arthur dalam diam dan terlihat sedikit kesal, namun setelah itu dia berdiri.

“Baiklah kalau begitu! Aku akan datang lagi besok! Sampai jumpa!”

Gadis itu pun berjalan pergi hingga akhirnya menghilang. Arthur masih tetap meringkuk gemetar di teras rumahnya. Walaupun dia merasa sangat segar tapi baginya hal itu malah membuatnya tersiksa.

Aku ingin mati! Aku ingin menghilang! Aku ingin…mati!!

Lalu keesokan harinya, seperti biasa gadis berkulit coklat itu sudah duduk di teras rumah Arthur dengan wajah ceria.

“Hei! Selamat malam!” sapa gadis itu dengan nada ceria.

Arthur yang baru saja datang hanya terdiam, dia tidak menjawab apa-apa. Tapi di ujung matanya, pria berambut pirang itu, melihat tangan gadis itu telah dibalut dengan perban karena kejadian kemarin. Dia memalingkan mukanya dan terus berjalan menuju pintu.

“Hei, tunggu! Kamu kenapa? Apa kamu marah karena kejadian kemarin?” Tanya gadis itu.

“Marah, katamu?”

Arthur berbalik, menatap gadis itu dengan tatapan murka.

“Iya! Aku marah padaku sendiri! Aku benci diriku yang seperti ini! Lebih baik aku aku tidak ada! Lebih baik aku mati!!”

Pria berambut pirang itu berteriak keras yang mungkin bisa terengar ke seluruh hutan yang mengelilingi rumah itu. Namun sesaat kemudian terdengar suara keras yang lain, gadis itu menampar—lebih tepatnya memukul Arthur dengan kepalan tangannya.

“Kamu itu bodoh banget sih! Kamu sadar kamu itu apa!? Kamu itu vampir, bukan manusia!” teriak gadis itu dengan kesal.

“Jadi menurutmu, tidak apa aku membunuh orang begitu!?”

“Aku tidak bilang kamu harus membunuhnya! Tapi jangan bersikap pengecut dan terus lari dari kenyataan!”

“Kamu tidak mengerti!”

“Aku mengerti!”

Gadis itu berteriak jauh lebih keras dari sebelumnya. Hal itu membuat Arthut tersentak kaget dan terdiam. Nafas gadis itu naik-turun dan menatap Arthur dengan tajam.

“Dokter bilang aku idak akan bertahan sampai setahun lagi. Hal itu membuatku takut, sangat takut. Tapi aku tidak mau berdiam diri saja menunggu kematian! Aku ingin kehidupanku berguna…karena itu kupikir…darahku yang sakit ini…bisa berguna untukmu.”

Gadis itu menggosok matanya yang berkaca-kaca. Arthur tidak tahu harus bereaksi apa mendengar kenyataan yang baru didengarnya.

“Jujur…aku iri padamu. Karena kamu bisa hidup selamanya. Tapi ternyata…kamu lebih menderita daripada aku….padahal kau bisa hidup bahagia dan tenang….”

“Bisakah….? Bisakah aku hidup tenang dan bahagia walaupun aku ini vampir?”

“Bisa kok.” Gadis itu menggenggam tangan Arthur yang dingin, “Kalau belum mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”

Gadis itu tersenyum, Arthur memalingkan mukanya karena malu. Namun hatinya lebih tenang daripada sebelumnya.

Gadis ini mengatakan hal yang belum pernah kupikirkan sebelumnya. Aku hanya berpikir jadi vampir hanya membuat orang lain menderita, tapi ternyata ada juga yang membutuhkan diriku, setidaknya hanya baginya saja. Namun hal itu sangat berarti bagiku.

“Ternyata kamu ini dulunya manusia yang jadi vampir ya? Pantas sikapmu tidak seperti vampir tulen…”

“Berisik! Memangnya vampir tulen itu kayak gimana!? Jangan sok tahu deh!”

Sejak hari itu, gadis itu memberikan darahnya padaku, walaupun hanya sesekali. Dan seperti bisanya gadis itu tetap datang setiap hari untuk menemuiku untuk mengobrol, mengambil fotoku (dengan paksa) atau dia (memaksa) yang minta dirinya difoto.

“Kenapa…..kenapa kamu melakukan semua ini? Maksudku…aku atahu kamu mau darahmu berguna. Tapi kamu menemaniku di sini dan berbicara denganku….aku…tidak menegerti.”

Gadis itu terdiam bingung. Lalu dia menerawang memikirkan jawaban yang tepat.

“Kalau kamu tanya kenapa….aku hanya ingin melakukannya kok. Aku bebas melakukan apa yang aku mau. Tinggal kamu sendiri yang mau menerima atau tidak.”

Arthur ingin mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi tatapan lurus gadis itu mencekat suaranya untuk keluar.

“Kamu benar-benar orang baik.”

Mata Arthur melebar. Dia tidak mengerti apa yang ada di pikiran gadis berambut gelap itu.

“Aku selalu meminta pada keluargaku agar aku dimakamkan di tempat yang indah. Seperti padang rumput yang luas dan ada pohon-pohon rimbun. Karena aku ingin ‘tidur’ di tempat yang senyaman mungkin. Dan katanya ada tempat seperti itu tidak jauh dari sini.”

“Kalau aku tidak datang lagi ke sini berarti kamu harus gantian yang datang ke ‘tempat’ku, alis tebal!”

“Apa!?” Arthur mengangkat wajahnya dengan cepat, menatap gadis itu, “kenapa juga aku harus…”

“Pokoknya harus! Karena kamu punya hutang padaku!” kata gadis itu dengan semangat sambil menunjuk Arthur.

“Hah? Hutang?”

“Tapi mungkin lebih baik kamu ‘membayar hutang’ ke gadis dan pemuda itu lebih dulu. Kurasa tidak apa-apa kalau kamu menemui mereka. Karena kamu orang baik.”

“A-Aku tidak mengerti maksudmu…”

“Kamu mengerti. Hanya saja kamu terlalu takut untuk mengerti. Walaupun sifatmu seperti ini….aku senang bertemu denganmu. Aku sangat bersyukur.”

“Namaku Liane S. Laurent. Panggil saja sey. Aku akan menunggu kamu datang, alis tebal. Aku akan terus menunggu.” Kata gadis itu sambil tersenyum sembari pergi meninggalkan Arthur sendirian.

“Sey? Perasaan namanya tidak ada ‘Sey’-nya….” Arthur melihat kepergian gadis itu dengan heran.

“--kamu terlalu takut untuk mengerti”

“Memangnya apa yang harus kulakukan? Kenapa kamu tidak memberitahuku…gadis bodoh!”

********************

“Karena penyakitnya,” kata Francis sambil menaruh cangkir kosong ke atas meja, “Sey tidak boleh keluar di siang hari. Tapi karena dia ingin keluar, diam-diam dia keluar rumah sakit di malam hari. Dia selalu bercerita apa saja yang di temui, dia kelihatan senang. Dan dia juga bercerita kalau dia menemui seseorang yang tidak bisa keluar siang hari seperti dirinya. Tapi dia tidak mengatakan kalau yang dia temui itu seorang vampir, sampai aku melihat foto-foto yang dia tinggalkan. ”

“Foto?” Tanya Lili sembari membereskan piring kotor di atas meja.

“Iya.” Jawab Francis sambil mengangguk pelan, “di album foto miliknya ada banyak foto si alis tebal bodoh itu. O iya, foto kalian berdua juga banyak.”

“Eh!? Foto kami?” Tanya Alfred kaget.

“Walaupun tidak mengenal kalian, tapi dia terlihat senang melihat foto kalian berdua. Berkat foto itu juga aku langsung mengenali Lili waktu datang ke toko bunga ini. ”

“Eh? Kalian bukannya sudah lama saling mengenal?” Tanya Alfred lagi.

“Tidak. Kami baru saja berkenalan beberapa hari yang lalu. Waktu itu Francis ingin membeli bunga, dan dia begitu kaget waktu melihat saya. Tiba-tiba saja Francis menghujani saya dengan pertanyaan, jujur waktu itu saya kaget sekali.”

“Soalnya susah sekali mencari alis sialan itu! Jadinya waktu melihatmu, aku yakin bisa menemukannya. Dan akhirnya aku benar-benar menemukannya.” Kata Francis dengan setengah tertawa.

“Kalian berdua akrab sekali walaupun baru kenal.” Kata Lili sambil tersenyum polos.

“Itu wajar saja. Sesama orang tua memang harus akrab.” Kata Alfred sambil tertawa.

“Siapa yang orang tua, dasar bocah!” Kata Francis kesal, “lagipula, memangnya kami seakrab itu? Waktu pertama kali bertemu saja, kami langsung bertengkar tanpa sebab dan dia memukulku dengan keras. Benar-benar orang yang kasar.”

Setelah Francis mengakhiri kata-katanya, semuanya pun ikut terdiam. Sementara itu, dengan gelisah, Lili terus melirik ke arah pintu. Francis yang terus memerhatikannya hanya tersenyum kecil. Lalu pria itu berdiri dan berjalan menuju pintu.

“Kalau mau menemui dia, pergi saja. Aku sudah selesai cerita kok. “ Kata Francis sambil membuka pintu, “mungkin saja emosi si alis aneh itu sudah mereda.”

Francis tersenyum ke arah Lili, gadis itu pun balas tersenyum. Kemudian Lili bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati pintu, namun langkahnya berhenti sewaktu berhadapan dengan Francis.

“Boleh saya bertanya satu hal?”

“Eh? Boleh, silahkan saja.” Jawab Francis spontan.

“Kamu…tidak akan melukai atau membuat Arthur celaka, kan?”

Francis terdiam, terlihat dia sedikit kaget mendengarnya. Tapi pria itu menghela nafas pelan dan menjawabnya dengan suara tegas namun pelan.

“Aku melanjutkan apa yang tidak sempat dilakukan Sey. Kalau sampai ada yang terluka, itu bukan hal yang diinginkan olehnya.”

“Syukurlah.” Kata Lili sambil tersenyum, “Sey sangat beruntung dicintai pria sepertimu.”

Francis tidak membalas, dia hanya tersenyum. Bukan tersenyum senang maupun sedih namun lebih merasa lega.

Lili pun berjalan keluar ruangan. Walaupun Lili sudah keluar, Francis tidak menutup pintunya, dia melirik ke Alfred yang tidak seperti biasanya hanya duduk diam.

“Kamu tidak ikut, bocah?” Tanya Francis sedikit heran.

“Lili pasti bisa menemani Arthur sekarang.” Jawab Alfred datar.

“Huh. Bocah sepertimu bisa bicara hal bijak juga.” Kata Francis sambil tertawa.

“Bisa tidak sih jangan panggil aku bocah! Dasar paman mesum!” Kata Alfred kesal.

“Kata-kata sinismu jadi mirip alis tebal sialan itu.” Kata Francis kesal, “tapi…aku masih heran kenapa kamu begitu terobsesi sama vampir itu.”

“Terobsesi!? Apa maksudmu?” Tanya Alfred heran sekaligus kaget.

“Kamu bercerita waktu pertama kali bertemu Arthur ke Lili kan? Dan Lili menceritakannya padaku, juga bagaimana kamu begitu ingin berteman dengannya.”

Francis terdiam sejenak. Alfred juga terdiam karena tidak mengerti arah pembicaraan Francis.

“Pastinya kamu punya banyak teman di sekolah kan? Kamu juga masih punya keluarga. Kamu tidak seperti alis tebal itu yang harus menghindari orang-orang atau Lili yang kehilangan keluarganya. Tanpa berteman dengan seorang Vampir kamu bisa hidup tenang tanpa harus mengurusi masalahnya. Kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kamu bisa mati! Kalau kamu tidak mau terlibat lebih jauh, tidak terlambat untuk pergi dan melupakan semuanya!”

Mendengar kata-kata penuh tekanan dari Francis, Afred tidak bergeming. Namun dia terdiam cukup lama, pemuda itu juga tidak menatap Francis. Kemudian mulutnya tebuka mengeluarkan suara.

“Arthur juga sering bertanya kenapa aku mau melakukan semua ini untuk dia dan kenapa aku ingin berteman dengannya. Mungkin kata-katamu benar juga. Seharusnya sekarang aku bisa menyelesaikan game yang belum kumainkan atau bermain baseball dengan teman-teman sekolahku. Tapi…”

Alfred menoleh, menatap serius wajah Francis.

“Aku ingin Arthur bisa melakukan apa yang bisa aku lakukan. Aku hanya ingin melakukannya. Aku bebas melakukan apa yang aku mau. Keinginanku adalah milikku sendiri.”

Francis cukup terkejut mendengar jawaban Alfred. Matanya melebar, mulutnya bergetar ingin menyebut nama seseorang. Tapi dengan segera dia menutup matanya dengan tangannya agar hatinya tenang. Alfred jadi sedikit bingung apalagi setelah mendengar Francis tertawa pelan tanpa sebab.

“Kamu benar-benar bocah aneh….”

“Haah?”

“….dan sayang sekali kamu itu cowok…”

Alfred tambah terkejut mendengar perkataan Francis apalagi seluruh tubuhnya jadi merinding. Sebaliknya Francis terus terdiam dalam waktu yang lama.

*************************

Lili melihat Arthur yang sedang duduk melihat bunga-bunga. Lili berjalan mendekat namun sebelum tangannya meraih bahu Arthur, pria itu sudah menoleh duluan. Melihat Lili ada di belakangnya, Arthur menjadi kaget dan berdiri tiba-tiba.

“Anu....maaf telah membuatmu kaget.” Kata Lili dengan nada canggung.

“Ju-Justru aku yang harus minta maaf karena menoleh tiba-tiba.” Kata Arthur gugup.

“Apa tidak apa-apa? Mataharinya cukup terik.”

“Selama tidak kena cahayanya tidak apa-apa kok. Oiya…kalau kamu di sini, berarti dia sudah selesai cerita? Pastinya bukan cerita yang menyenangkan kan?”

“Tidak kok. Saya jadi tahu kalau Kamu dan Francis sangat akrab.”

“Haah!? Akrab!? Waktu pertama kali bertemu saja dia mengatakan hal yang menyebalkan! Jadi tanpa sadar aku memukulnya.” Kata Arthur kesal, “memangnya dia cerita apa sih?”

“Tentang kamu dan Sey.”

“Yah sudah kuduga sih…”

“Apa kamu sedih sewaktu datang ke makam Sey?”

Sedih? Memang waktu melihatnya aku kaget, tapi rasa sakit di dada ini…apa itu sedih?

Melihat Arthur yang terdiam, Lili jadi sedikit bingung. Tapi kemudian dia menarik tangan Arthur.

“Bisa ikut saya sebentar?”

Wajah Arthur memerah karena tangannya dipegang tiba-tiba. Namun dia mengangguk pelan dan mengikuti kemana Lili pergi. Ketika mereka tiba di sebuah pintu, Lili membukanya. Didalamnya ada banyak sekali bunga-bunga mawar menghiasi seluruh kamar. Arthur terkesiap melihat semua bunga tertata rapi dan indah di kamar kecil itu.

“Ini kamar kakak saya. Masih ingat saya pernah bilang ada yang memberikan bunga setiap malam? Semua bunga itu saya pakai untuk menghias kamar kakak. Lalu ada juga yang saya bawa untuk makam kakak. Karena bunga mawarnya sangat indah jadinya saya ingin kakak yang ada di ‘sana’ juga bisa merasakan keindahannya.” Kata Lili sambil tersenyum, “Oh iya. Bunga darimu tadi sudah kutaruh di pot baru. Untungnya bunganya tidak apa-apa.”

Arthur masih terdiam melihat pemandangan yang ada di depannya. Namun tidak lama kemudian, Arthur buka suara.

“Aku…Akulah yang memberikan bunga mawar tiap malam.” Kata Arthur pelan.

Lili terdiam kaget lalu dia menoleh pelan ke Arthur yang sedang menunduk.

“Aku memberikan bunga itu sebagai permintaan maaf. Tapi aku masih merasa bersalah karena itu aku terus memberikan bunga. Namun aku sadar apa yang salah….seharusnya….aku minta maaf langsung padamu.”

Arthur mengangkat wajahnya. Dia melihat wajah Lili yang basah dengan air mata namun dia berusaha untuk tersenyum. Arthur pun menarik tangan Lili dan memeluknya dengan erat.

“Maaf! Maafkan aku…”

Lili sedikit kaget tapi air matanya terus mengalir. Bukan karena sedih tapi karena merasa senang.

“Aku memaafkan kamu kok. Karena kamu menyesal. Dan tidak ada alasan aku tidak memberimu maaf.”

Mendengar hal itu Arthur merasa sangat lega dan tubuhnya merasa ringan. Dia terus memeluk Lili dengan lembut. Sampai tiba-tiba pintu terbuka dengan keras.

“Wah, wah. Baru ditinggal sebentar alis tebal sudah melakukan hal yang tidak-tidak.” Kata Francis dengan nada sinis.

Dengan segera Arthur melepaskan pelukannya dan langsung membela diri.

“Si-Siapa yang melakukan hal yang tidak-tidak, dasar bodoh!” Kata Arthur kesal sekaligus gugup dengan wajah memerah.

“Kamu tidak apa-apa, Lili?” Tanya Alfred yang muncul dari belakang Francis.

“Tidak apa-apa kok. Arthur hanya mengucapkan sesuatu yang membuat saya senang.” Jawab Lili tersenyum sambil mengusap air matanya.

“Waah…pernyataan cin…”

Belum selesai Francis bicara, Arthur sudah melempar sepatunya tepat ke wajah Francis dan dia pun jatuh terjungkal.

“Aku harus menemui dua orang lagi…” Kata Arthur pelan.

“Maksudmu kakak Lili dan Sey?” Tanya Alfred.

Arthur menjawab dengan anggukkan pelan.

“Kebetulan. Makam kakak Lili dan Sey berada di area yang sama. Jadi kita bisa langsung ke sana. Lagipula dekat dari sini.” Kata Francis sambil bangkit lagi.

Mereka semua pun keluar dari kamar. Namun sebelum keluar, Arthur mengambil bunga mawar yang tadi diperlihatkan Lili dan juga bunga mawar satunya lagi.

“Boleh kuminta ini?” Tanya Arthur.

“Silahkan saja. Bunga yang satu lagi itu yang kamu berikan beberapa hari yang lalu.” Jawab Lili.

Arthur menatap dua bunga mawar merah yang dipegangnya lalu dia berjalan mengikuti Lili dan yang lain.

Hujan turun lagi walaupun hanya gerimis. Keuntungan untuk Arthur karena dia bisa pergi dengan tenang tanpa khawatir dengan cahaya matahari. Sempat ada perdebatan karena payungnya kurang, dimana Francis dan Arthur tidak mau di satu payung, Arthur enggan, atau malu lebih tepatnya, satu payung dengan Lili, dan akhirnya Arthur berpayungan dengan Alfred walaupun sebenarnya dia malu juga.

“Hei.....ada yang ingin kukatan padamu!” Kata Arthur tiba-tiba dengan suara pelan.

Alfred sedikit kaget. Mereka pun berhenti berjalan. Dia ingin bertanya tapi Arthur sudah melanjutkan pembicaraan.

“Aku…mau minta maaf. Seharusnya aku tidak membiarkan kamu menunggu selama sepuluh tahun. Aku tahu kamu menungguku, tapi aku terlalu takut. Jadi maafkan aku.”

Arthur mengatakan dengan pelan dan wajahnya menunduk. Alfred menahan senyum melihat pria bermata hijau itu menunduk padanya. Alfred pun mengangkat wajah Arthur agar menatap wajahnya.

“Kamu tidak perlu minta maaf! Karena kamu tidak salah apa-apa padaku.” Kata Alfred sambil tersenyum.

Arthur menghela nafas lega. Tapi dia langsung melepaskan tangan Alfred dari wajahnya karena malu. Lalu terdengar suara Francis yang memanggil mereka dan mereka pun melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan sekitar 30 menit, mereka sampai di padang rumput yang luas dengan batu nisan berjejer rapi seperti membentuk barisan. Mereka berjalan pelan menginjak rumput yang basah.

“Makam kakak saya ada di dekat sini. Bagaimana kalau ke sana dulu?” Tanya Lili sambil menoleh ke Arthur.

Dua orang lainnya pun ikut menoleh ke Arthur, pria bermata hijau itu pun mengangguk pelan. Akhirnya mereka pun mengikuti Lili yang memimpin jalan. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah batu nisan yang berbeda dari batu nisan di sekitarnya, batu nisan itu dipenuhi dengan bunga mawar.

“Selamat siang, kakak.” Kata Lili sambil duduk bersimpuh di depan batu nisan itu, “Hari ini saya datang lagi. Dan saya juga tidak sendirian ke sini. Ada Francis, Alfred dan….ada Arthur yang ingin menemui kakak.”

Arthur terdiam. Alisnya berkerut dan tubuhnya gemetar. Tepat di depannya adalah makam orang yang sudah dia buat mati. Arthur memalingkan muka sambil menutup matanya, namun ada yang menepuk punggungnya. Dia menoleh. Alfred tersenyum padanya, seperti mengatakan ‘Tidak apa-apa, berjuanglah’. Dalam sekejap, keberanian Arthur meluap. Dia menoleh ke makam dan dia tidak merasa takut lagi. Walaupun merasa sedikit aneh, tapi pria itu mendekati makam.

Melihat Arthur yang sudah siap, Lili pun berdiri, bersama Alfred dan Francis, mereka menjauh agar Arthur bisa mengungkapkan apa yang dipendamnya selama ini. Kemudian Arthur pun berjongkok di depan makam.

“Kamu…kamu mungkin tidak mengenalku….tapi pasti kamu tahu aku, kan?” Tanya Arthur dengan suara pelan.

Arthur terdiam sesaat, seperti menunggu jawaban walaupun dia tahu dia tidak akan mendapatkan jawaban apa-apa.

“Aku…akulah vampir yang membuatmu ada di sini sekarang. Sudah terlambat memang, tapi...aku ingin minta maaf. Karena membuat kamu jadi seperti ini dan membuatmu meninggalkan adikmu sendirian. Maaf…maafkan aku.”

Arthur terus menundukkan wajahnya. Tapi dia mengangkatnya kembali.

“Ah iya. Ada yang ingin kuberikan padamu.”

Arthur meletakkan salah satu pot bunga mawar ke depan makam.

“Bunga ini…dulu kupikir bisa dipakai sebagai permintaan maaf. Tapi sekarang aku tahu kalau percuma kalau tidak dikatakan langsung. Namun setidaknya, aku ingin memberimu bunga ini. Bunga yang seharusnya aku berikan sepuluh tahun lalu ke adikmu. Tapi sekarang aku ingin bunga ini menemanimu di sini.”

Kemudian Arthur pun berdiri. Pria itu menghampiri tiga orang yang menunggunya. Dia disambut Lili dengan senyuman. Melihat itu membuat Arthur sedikit lega. Walaupun dia tidak merasa dimaafkan, setidaknya hatinya jadi tenang.

Kemudian Arthur menoleh ke Alfred yang ada di sebelah Lili.

“Tidak apa-apa, kan? Bunga yang sudah kamu rawat sepuluh tahun ini. Aku berikan padanya….”

Mata Alfred melebar, kaget karena tidak menyangka akan ditanya hal itu. Tapi kemudian dia hanya tersenyum nyengir seperti biasa.

“Kenapa kamu bertanya padaku? Aku merawat bunga itu untuk mengembalikannya padamu. Karena bunga itu milikmu, dan aku tidak akan menyesal Tapi yang jelas aku senang kamu mau memberikan bunga itu ke kakak Lili.”

Arthur merasa senang karena Alfred tidak kecewa dengan keputusannya, tapi pria itu tidak jujur dengan perasaanya dan hanya memalingkan muka. Lalu dia pun melirik ke Francis. Seakan tahu arti tatapan Arthur, pria berambut pirang sebahu itu hanya mengehala nafas pelan.

Kaki Francis mulai melangkah. Arthur dan yang lainnya mengikuti dari belakang. Tidak lama kemudian mereka berhenti di batu nisan lainnya. Sama seperti makam kakaknya Lili, makam ini juga dipenuhi bunga walaupun jenisnya lebih banyak. Francis meletakkan buket bunga yang di bawanya ke depan batu nisan.

“Hai. Aku datang. Seperti biasa aku membawa banyak bunga. Hari ini sangat spesial! Karena aku membawa tambahan.” Kata Francis sambil melirik ke Arthur.

“Siapa yang kamu sebut dengan tambahan, dasar bodoh!” kata Arthur kesal.

Francis hanya tersenyum kecil dan berjalan melewati Arthur, membiarkan pria bermata hijau itu dengan makam saling berhadapan berdua saja. Arthur tidak merasa takut seperti di depan makam kakak Lili tadi. Dia juga tidak sedih maupun senang. Namun juga dia tidak mau beranjak dari situ.

“Dulu…kamu bilang aku punya ‘hutang’ ke Alfred dan Lili. Tapi kamu tidak pernah mengatakannya dengan jelas, sehingga aku tidak mengerti. Tapi…pasti kamu tahu…kalau aku sebenarnya mengerti apa ‘hutang’ku pada mereka dan aku terlalu takut untuk mengatakannya. Lalu waktu kamu bilang, aku juga punya ‘hutang; padamu, jujur aku bingung dan tidak mengerti. Tapi setelah mengatakan apa yang harus aku katakan pada mereka, aku jadi mengerti, apa ‘hutang’ku padamu.”

Arthur menutup matanya dan menarik nafas pelan.

“Namaku Arthur Kirkland, aku adalah seorang vampire yang mengurung diri karena takut menggigit orang lain. Aku senang telah bertemu denganmu. Aku sangat bersyukur kita telah bertemu walaupun cuma sebentar.”

Arthur meletakkan pot bunga yang tersisa di tangannya dan meletakkannya di depan batu nisan.

“Bunga ini kuberikan bukan sebagai permintaan maaf. Tapi ini sebagai ucapan terima kasih. Karena kamu mau menemuiku, menyemangati untuk berani, dan juga darahmu yang sangat berharga. Terima kasih banyak. Semoga kita bisa bertemu lagi.”

Selesai Arthur berbicara, hujan pun mulai mereda. Mereka semua melihat ke arah langit. Walaupun langit masih dipenuhi awan mendung, tapi di sela-sela awan abu-abu itu terlihat pelangi yaang sangat indah. Alfred dan Lili terlihat kagum, Francis tersenyum kecil, dan Arthur menatap lurus pelangi itu seperti melihat hal lain. Tapi kemudian dia juga ikut tersenyum

END CH04

TO BE CONTINUED

31-01-2011

Author Note: AKHIRNYA BISA UPDAAAATE!!! TAT

Karena UTS-> tugas yang bertubi-tubi -> sakit -> UAS -> Main game. *yak silahkan pukul aku buat alasan terakhir*

Terima kasih bagi yang sudah review cerita ini, itu membuatku tambah semangat!

Untuk nama Seychelles akhirnya aku bikin sendiri karena aku tidak begitu mengenal fandom, Dan menurut editorku agar aku tetap kasih nama yang ada unsur ‘Sey’ jadi mohon maaf kalau namanya tidak sesuai….

Chapter berikutnya adalah chapter terakhir! Dan doakan saja tidak lama. /plaaak

Chapter 5 (End)
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3

Save And Share :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

0 komentar:

Posting Komentar

back to top